Skenario Minyak (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah
Harga minyak dunia anjlok beberapa hari yang lalu, dan mencapai titik nadir dan sempat menyentuh angka negatif untuk pertama kalinya dalam sejarah.
Ini otomatis preseden buruk sejak jatuhnya harga minyak dunia di tahun 1983 silam. “Ada apa gerangan?” begitu banyak orang bertanya-tanya.
Kalo anda baca dari media mainstream, jawabannya tentu normatif.
Sebelumnya, para ahli telah memperingatkan tentang jatuhnya harga minyak. Setidaknya Paul Sankey, direktur pelaksana di Mizuho Securities mengatakan kepada Fox News Business (18/3), “Sangat mungkin harga minyak mencapai angka negatif.” (https://www.foxbusiness.com/markets/oil-price-could-fall-below-zero-analyst)
Dengan milyaran orang tinggal di rumah akibat C19, maka otomatis perjalanan dengan mobil atau pesawat jadi jauh berkurang atau bahkan nggak ada sama sekali. Akibatnya, kebutuhan akan minyak jauh berkurang.
Masalahnya produksi minyak tetap jalan terus, sementara permintaan minyak dunia berkurang. Akibatnya terjadi kelebihan supply. Mau dikemanain nyimpannya? Sementara untuk penyimpanan ada biaya yang harus dikeluarkan dan tidak murah.
Yang ada kemudian, biaya penyimpanan jadi lebih mahal ketimbang ongkos produksi karena ruangannya tidak ada lagi. Ruwet, kan? Walhasil minyak dilepas oleh produsen dan pialang dengan harga ‘spektakuler’ tadi.
Paling itu kan, ceritanya? Ngapain juga baca ulasan saya kalo cuma tahu berita tersebut?
Oke. Saya coba ulas, ditengah keterbatasan waktu yang saya punya.
Bicara minyak, sama juga bicara geopolitik. Harus tahu persis siapa yang bermain.
Tepat di hari Valentine 1945, Franklin D. Roosevelt bertemu dengan Raja Saudi Abdul Aziz Ibn Saud di USS Quincy yang ada di Great Bitter Lake, Terusan Suez. Kesepakatan terjadi, dimana AS akan menerima semua pasokan minyak yang dibutuhkan, selama Saudi memiliki minyak.
Menurut estimasi AS saat itu, Saudi memiliki setidaknya lebih dari 50% cadangan minyak dunia dan juga gas alamnya.
Sebagai imbalannya, AS akan menjamin keamanan House of Saud yang tengah berkuasa, lewat kekuatan militer AS. Nggak heran pangkalan militer AS – Dhahran – bisa hadir disana. (https://oilprice.com/Energy/Crude-Oil/The-Sad-Truth-About-The-OPEC-Production-Cut.html)
Kenapa AS berkepentingan dengan minyak?
Coba jawab, apa ada industri yang tidak pakai minyak?
Dengan menguasai minyak, akan otomatis menguasai industri. Bahkan Deplu AS menggambarkan pertemuan tersebut sebagai ‘salah satu hadiah material terbesar dalam sejarah dunia.’
Hubungan mutualisme tersebut terus terjadi hingga kini, meskipun mengalami modifikasi. Maksudnya? AS tetap menjamin keamanan dalam negeri Saudi, dengan syarat mau mendengarkan ‘arahan’ dari Washington. “Apa mau ente bernasib seperti Saddam Hussein atau Qadaffy?”
Kalo Trump kemudian bisa ngomong, “Dia (Raja Saudi) tidak akan bisa bertahan dalam kekuasaannya selama 2 minggu tanpa dukungan militer AS” yang memang benar adanya.
Jangan heran bila terus ada upaya kudeta terhadap kepemimpinan Raja Saudi, ya karena ada kesepakatan tadi, sehingga raja Saudi terus bergantung pada AS. (https://www.channelnewsasia.com/news/world/saudi-arabia-in-royal-purge-over–coup-plot–12513748)
Nah, di tahun 2016, Rusia bergabung dengan OPEC, sehingga membentuk kelompok kartel yang mengendalikan hampir setengah dari produksi minyak dunia. Kelompok itu dikenal dengan istilah OPEC +.
Pada 6 Maret yang lalu, berlangsung pertemuan OPEC + di Wina, yang intinya mengatur pemotongan produksi minyak untuk menopang harga pasaran, karena C19 yang telah sukses merusak permintaan pasar. (https://www.opec.org/opec_web/en/press_room/5865.htm)
Sialnya, Rusia nggak mudah ditipu. Karena dibalik niat Saudi (yang mengendalikan OPEC), pasti ada AS dibelakangnya. Singkat cerita kesepakatan tersebut ditolak mentah-mentah oleh Rusia.
Kenapa Rusia menolak? Setidaknya ada beberapa alasan.
Pertama, kalo OPEC + akan memotong angka produksi, kenapa produsen minyak serpih AS tidak melakukan hal yang sama? (https://www.nytimes.com/2020/04/12/business/energy-environment/opec-russia-saudi-arabia-oil-coronavirus.html)
Sebagai informasi, OPEC telah dengan ‘sengaja’ membantu industri minyak serpih AS untuk bisa bekembang. Setidaknya begitu menurut Rusia setelah tiga tahun bergabung di OPEC +.
Aliasnya, Kremlin enggan menyerahkan pangsa pasar lebih lanjut ke pengebor sepih AS yang dikenal sebagai frackers, karena usaha tersebut telah menambah jutaan barrel minyak ke pasar global. “Masa gue doang yang boncos,” demikian umpat Rusia.
Kedua, alasan geostrategis. Dimana AS lewat minyak bertujuan menjadikannya sebagai senjata geostrategis. Kita tahu bahwa saat ini, AS merupakan produsen minyak dan gas nomor 1 di dunia. (https://www.seputarforex.com/artikel/10-negara-produsen-minyak-terbesar-di-dunia-285524-33)
Namun pernyataan AS yang secara provokatif ingin ‘merampas’ seluruh pasar energi Belarusia dari Rusia, hal ini jelas tidak bisa disepelekan. Ini jelas ancaman geopolitik bagi Rusia. (https://apnews.com/863371d1353f29fb38b27fe0e5027b8e&usg=ALkJrhiQMIBn1QyZc6dqD7ZEVePmY9B6XQ)
Ketiga, secara ekonomi Rusia lumayan siap untuk perang minyak jika dikehendaki oleh Saudi dengan cara banting-bantingan harga. Ini dapat terjadi karena cadangan emas yang dimilikinya dirasa cukup aman untuk situasi terburuk sekalipun. (https://www.rt.com/business/481298-russia-gold-reserves-growth/&usg=ALkJrhgCfNWCjDLWl3IElCpVg-QkRa5kNw)
Dan yang terakhir, Rusia dibuat kesal oleh tingkah AS yang menggunakan energi sebagai alat politik. Tahu proyek Nord Stream 2? Nord Stream 2 adalah proyek pipa yang membentang dari Rusia ke Jerman, yang akan menyediakan gas alam Rusia ke Eropa Barat dengan harga bersahabat.
Awalnya, rute-nya melalui Ukraina. Namun sejak kudeta yang disokong AS pada Ukraina di tahun 2014, akhirnya mengubah jalur pipa dari semula melalui Ukraina, menjadi melalui jalur laut sebagai alternatifnya.
Kebayang jika proyek Nord Stream 2 terlaksana, apa yang akan terjadi? Rusia dam Eropa leha-leha, karena sama-sama untung, sebaliknya AS hanya bisa gigit jari.
Karenanya, hal ini jelas nggak boleh dibiarkan oleh Washington.
Apa yang terjadi kemudian dan juga implikasi jatuhnya harga minyak dunia?
Saya akan ulas pada tulisan kedua nanti.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments