Menyoal Rekapitulasi Ngawur
Oleh: Ndaru Anugerah
Apa sih yang buat C19 menjadi ‘lebih menakutkan’? Nggak lain pada status angka kematian yang dilaporkan. Aliasnya rekapitulasi kematian pasien, terbilang ngawur.
Hal ini bisa terjadi, menyangkut 2 persoalan. Pertama pada tes dan alat yang digunakan. Yang kedua pada sistem pelaporannya.
Maksudnya apa? Saya coba uraikan.
Tes bagi C19, menggunakan teknik yang disebut reverse transcriptase kuantitatif rantai reaksi polymerase alias RT-qPCR. Tes ini digunakan untuk mengidentifikasikan keberadaan RNA dari virus Corona.
Sebagai informasi, protokol test tersebut berbeda antar suatu negara dengan negara lainnya.
Untuk kasus di China, ditemukan kejanggalan. Menurut laporan Chinese Journal of Epidemiology (5/3), menyatakan bahwa hampir setengah atau bahkan lebih pasien yang di tes positif virus Corona, dinyatakan positif palsu (false positive) alias nggak memiliki virus Corona sama sekali.
Apa kondisi yang bisa menyatakan hasil tes dinyatakan positif palsu? Bila hasil tes-nya bereaksi terhadap virus atau sumber genetik lain, namun jumlah kontaminasinya terbilang kecil. Dan ini dapat berpengaruh pada efektivitas virus terhadap kontribusi kematian seseorang.
Nyatanya justru sebaliknya. Sekecil apapun jumlah kontaminasi oleh virus C19, maka akan dianggap sebagai penyebab kematian. Dan ini berakibat pada tingginya angka kematian yang kemudian dilaporkan.
Mungkin karena laporan tersebut menimbulkan kegegeran, akibatnya laporan tersebut ditarik dari peredaran tanpa alasan yang jelas.
Secara prosedural, awalnya WHO memberikan panduan teknis tentang pengujian C19, dengan memakai peralatan tes (kit) yang dikembangkan di Jerman. (https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-2019/technical-guidance/laboratory-guidance)
Sayangnya di AS sendiri, CDC sebagai lembaga kesehatan berwenang, justru mengabaikan prosedur yang diberikan WHO. Parahnya lagi, CDC justru merahasiakan detil pelaksanaannya kepada publik. Dengan alasan apa? Mungkin terkait masalah disain pengujian dan tingkat kontaminasi yang bisa saja menimbulkan kebingungan.
Meskipun CDC memberikan laporannya kepada komunitas internasional, namun hasilnya justru dipertanyakan. “CDC menambah kebingungan dalam memberikan informasi yang terbatas ….” (https://www.cnn.com/2020/03/21/politics/us-coronavirus-tests-invs/index.html)
Dan belakangan CDC mengakui dengan menyatakan bahwa “Hasil positif tidak bisa mengesampingkan infeksi dari bakteri atau virus lain. Agen yang telah terdeteksi (melalui tes), mungkin bukan penyebab penyakit secara pasti.” (https://www.fda.gov/media/134922/download)
Artinya, tes yang digelar CDC, hasilnya nggak akurat.
Parahnya, masalah tidak berhenti sampai disitu. Pada laporan kepada Kongres (28/3), CDC mengakui bahwa perangkat tes (kit) yang dipakai, ternyata telah terkontaminasi alias nggak steril. (https://www.sciencemag.org/news/2020/02/united-states-badly-bungled-coronavirus-testing-things-may-soon-improve)
Kontaminasi berakibat fatal karena menyebabkan kontrol negatif dalam kit, sehingga kit mendeteksi DNA yang seolah-olah terkait positif virus Corona, padahal nyatanya tiidak. Berapa banyak kontaminasi yang terjadi? Hingga detik ini pihak CDC bungkam seribu bahasa.
Ajaibnya, kejadian serupa juga terjadi di Inggris.
Pada bulan April yang lalu, perangkat tes (kit) C19 yang terinfeksi juga ditemukan di negara Three Lions tersebut. (https://myfox8.com/news/coronavirus-test-kits-meant-for-the-uk-found-to-be-contaminated-with-covid-19/) Apakah ini kebetulan?
Hal kedua yang perlu dikritisi adalah sistem pelaporan.
Selama ini kita menghitung fatality rate alias persentase angka kematian, berdasarkan jumlah kasus dibagi dengan jumlah kematian. Benar, kan?
Nyatanya, perhitungan yang dilakukan nggak semudah itu, Rudolfo…
Dr. John Ioannidis, seorang ahli epidemiologi dari Fakultas Kedokteran Universitas Stanford menyatakan bahwa selama ini terjadi kesalahan penghitungan dari kasus C19. Ini dikarenakan perhitungan seluruh populasi umum dilakukan secara terbuka.
Kalo mau fair, perhitungan kematian harusnya dilakukan pada populasi tertutup seperti yang terjadi di Kapal Diamond Princess, dimana penumpangnya saat itu terinfeksi virus Corona.
Berapa angka kematian di kapal pesiar tersebut? Hanya 7 orang alias cuma 1%. Itupun perlu mendapat catatan khusus, mengingat sebagian besar populasi adalah kaum lansia. Sudah pasti tingkat kematian C19-nya bisa lebih tinggi lagi. Namun nyatanya hanya 1%, nggak lebih.
Dengan kata lain menurut Prof. Ioannidis, “Perkiraan masuk akal tentang fatality rate untuk populasi umum, hanya berkisar 0,05% hingga 1%. Angka ini (jauh) ebih rendah dati kasus influenza tahunan yang terjadi AS selama ini.” (https://www.thecollegefix.com/stanford-epidemiologist-warns-that-coronavirus-crackdown-is-based-on-bad-data/)
Secara singkat, Prof. Ioannidis berbicara tentang angka kematian faktual yang jauh lebih kecil daripada angka kematian berdasarkan hasil pelaporan selama ini.
Kesalahan umum lainnya adalah penyakit penyerta (komorbid) pada angka kematian semua orang yang dinyatakan terinfeksi C19. Matinya gegara sakit jantung, tapi karena terinfeksi virus Corona, langsung sertifikat kematian dinyatakan mati karena C19.
Dan kesalahan tersebut diperbesar oleh kebijakan otoritas kesehatan (semisal CDC), yang mengamanatkan bahwa semua kematian pasien ‘harus’ dinyatakan terkena C19, bahkan meskipun sang pasien tidak pernah di tes untuk SARS-COV2 sama sekali. (https://off-guardian.org/2020/04/05/covid19-death-figures-a-substantial-over-estimate/)
Jadi kalo ada yang bilang bahwa AS terkena karma karena angka kematiannya tinggi akibat C19, tempat main ente kurang jauh Bray…
Ini bukan soal karma, tapi karena memang ada skenario untuk ‘membuat panik’ warga AS dan juga warga dunia, lewat penggelembungan angka kematian akibat C19.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)
0 Comments