Menyoal Ekonomi Serabutan
Oleh: Ndaru Anugerah – 10062025
Apa yang anda lakukan selepas bangun dan mandi pagi?
Jawabannya tentu saja melakukan aktivitas pekerjaan anda di kantor, dari jam 9 pagi hingga pukul 5 sore. Aktivitas tersebut dilakukan (baik sukarela ataupun terpaksa) tentu saja untuk mencari uang guna menunjang hidup anda.
Jika anda punya pandangan tentang bagaimana cara bekerja pada saat ini, maka konsep nine to five jelas usang, utamanya pada kaum muda.
Kenapa?
Karena saat ini, timbul istilah baru dalam dunia pekerjaan, yang dinamakan gig economy.
Apa itu gig economy?
Secara definisi, gig economy adalah kumpulan tenaga kerja yang bekerja dengan sistem kontrak jangka pendek alias freelancer. Berbeda dengan pekerjaan konvensional ala nine to five, maka gig economy workers nggak bekerja secara permanen. Bisa dikatakan mereka adalah pekerja serabutan. (https://www.bbc.com/news/business-38930048)
Pada gig economy para pekerjanya ya bekerja secara paruh waktu dengan fleksibilitas yang tinggi, dan juga posisi kerja bersifat temporer alias independen.
Jadi para pekerjanya nggak lagi ngantor dari pagi sampai sore, mendapatkan gaji rutin bulanan ataupun tunjangan hari raya (THR) pas lebaran atau natal.
Apa yang memicu hadirnya gig economy?
Nggak lain munculnya era transformasi digital yang seleras dengan revolusi industri 4.0.
Dengan hadirnya jaringan internet dimana-mana, maka antara pasar yang menghadirkan demand dan supply, dapat dijembatani. Kapanpun, dimanapun oleh siapapun yang berkepentingan. Cukup bermodalkan gadget, maka semua bisa diatasi.
Dengan hadirnya gig economy, antara pencari dan penyedia kerja jadi lebih fleksibel. Secara khusus bagi pengusaha, mereka nggak perlu repot-repot lagi mencari seorang pekerja yang kompeten, karena semua bisa bekerja dimana saja dan tetap bisa menghasilkan kualitas pekerjaan yang memuaskan.
Apa saja yang bidang pekerjaan pada gig economy?
Macam-macam. Dari mulai jurnalis lepas, seniman, content creator, project manager, data scientist hingga pengemudi online alias kang ojol. Dan ini pekerjaan-pekerjaan yang dulunya nggak ada, tapi kini hadir dipicu oleh transformasi digital itu tadi.
Kalo dulu seseorang yang hidupnya di rumah saja tapi punya uang banyak, maka kita bisa beranggapan bahwa dia mungkin punya tuyul atau pelihara babi ngepet, maka sekarang fenomena orang bisa kaya hanya kerja di rumah, itu bisa saja.
Yah gig economy jawabannya.
Atau orang yang kerjanya jelong-jelong ke luar negeri saban hari, tanpa harus. Kok bisa?
Sekali lagi itu karena hadirnya gig economy. Bekerja bisa dimana saja dan kapan saja.
Berdasarkan data McKinsey di tahun 2022, di Amrik sana ada sekitar 36% orang yang bekerja secara independen alias serabutan ala gig economy. Angka ini setara dengan 58 juta orang. (https://www.mckinsey.com/featured-insights/sustainable-inclusive-growth/future-of-america/freelance-side-hustles-and-gigs-many-more-americans-have-become-independent-workers)
Ini melonjak secara signifikan, mengingat angka pekerja independen hanya sekitar 27% saja di tahun 2016.
Meskipun punya fitur fleksibilitas jadwal kerja dan sifat otonom-nya, toh nyatanya mayoritas orang nggak begitu sreg dengan kerja serabutan tersebut. Kalo diberi pilihan, mereka akan pilih kerja kantoran.
Alasannya sederhana.
Dapat gaji bulanan plus THR, dan jadwal kerjanya ajeg. Dengan kata lain, mereka lebih suka pekerjaan yang sifatnya memberi kepastian bagi mereka.
Bayangkan jika anda dalam kondisi sakit, sementara kerja serabutan yang anda andalkan. Untuk mencukupi hidup harian anda, uangnya dari mana kalo anda nggak bekerja? Belum lagi nominal yang akan anda terima, apakah bisa mencukupi bulanan anda?
Berapa besaran penghasilan yang didapat oleh para pekerja independen?
Tergantung jenis pekerjaannya. Kalo yang white collar seperti pengacara, akuntan, influencer medsos, manager dan para spesialis lainnya, angkanya bisa mencapai USD 150 ribu per tahunnya. (https://www.mckinsey.com/mgi/overview/in-the-news/meet-the-us-workers-who-are-going-it-alone)
Sementara untuk pekerja kasar alias blue collar workers seperti kang ojol ataupun pengantar makanan, nomimal yang diterima jauh lebih rendah.
Jadi, kalo anda saat ini punya anak dan anda masih punya harapan yang sama akan masa depan anak anda, supaya bisa kuliah di kampus wah, kemudian bisa bekerja di perusahaan ternama dengan gaji bulanan yang bisa mencukupi ini dan itu, maka anda bisa dikategorikan sebagai old fashioned.
Kenapa?
Karena trend gig economy dengan kerja serabutannya, nggak akan menawarkan segala kemudahan seperti yang anda harapkan terjadi pada anak anda.
Paling pol, kalo anak anda beruntung alias bejo, bisa mendapatkan white collar job saja sudah syukur alhamdullilah. Itupun juga nggak ada kepastian berapa banyak penghasilan yang didapat tiap bulannya.
Lalu apa pandangan saya selaku analis?
Bagi saya, gig economy hanyalah lokomotif menuju kondisi ideal atas berjalannya circular economy yang pada gilirannya akan menghantar kita pada own nothingness di tahun 2030 mendatang.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)