Menyoal Dana Kekayaan Negara (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah – 07032025
Pada bagian pertama tulisan kita sudah bahas tentang Sovereign Wealth Funds yang merupakan bentuk dasar dari Dana Kekayaan Negara. Dan Danantara merupakan salah satu contoh dari SWF yang digadang-gadang akan membawa Indonesia menuju era gemilang. (baca disini)
Satu yang perlu diingat, bahwa SWF harus memegang prinsip transparansi dan akuntablitas dalam pelaksanaan-nya. Jadi nggak ada yang namanya kepentingan politik sebagai vested interest pada lembaga dana kekayaan negara tersebut.
Ini penting untuk ditekankan karena pengalaman di Malaysia di masa kepemimpinan Najib dengan 1MDB-nya, justru melanggar dua prinsip dari SWF. Alih-alih mendatangkan manfaat, yang ada malah menciptakan mega skandal korupsi. (baca disini)
Sekarang mari kita tilik Danantara.
Pertanyaan mendasarnya: apakah Danantara akan mengedepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam operasional-nya serta nggak punya vested interest?
Anda perlu tahu bahwa belum lama ini DPR dan pemerintah telah merevisi UU BUMN tahun 2003 dengan UU No.1/2025 yang baru, lewat rapat paripurna. (https://www.cnbcindonesia.com/opini/20250304132806-14-615498/tinjauan-uu-nomor-1-tahun-2025-paradigma-bumn-hingga-arah-danantara)
Apa yang menarik dari revisi UU yang baru tersebut?
Dalam salah satu pasal dikatakan bahwa direksi dan komisaris BUMN bukanlah penyelenggara negara. Di sisi yang lain ada pasal yang menyatakan bahwa keuntungan dan kerugian yang dialami BUMN merupakan keuntungan dan kerugian perusahaan itu sendiri. (https://peraturan.bpk.go.id/Details/314622/uu-no-1-tahun-2025)
Artinya apa?
Jika suatu saat BUMN mengalami kerugian, maka tidak akan dianggap sebagai kerugian negara, melainkan kerugian perusahaan.
Pertanyaannya: jika ada korupsi yang menimpa BUMN, maka siapa yang akan menyelidiki, mengingat direksi dan komisaris BUMN tersebut bukanlah penyelenggara negara? Bukankah selama ini KPK hanya bisa bertugas jika ada keterlibatan penyelenggaran negara di dalamnya? Apakah BUMN bukan lagi milik negara?
Bingung, kan nge-jawabnya?
Kedua, menyangkut dana yang akan dikelola. Rumus-nya adalah makin besar dana kelola, maka makin besar tingkat leverage-nya, sehingga otomatis makin besar pula risiko-nya.
Berdasarkan informasinya, Danantara punya modal awal Rp.300 triliun yang didapat pemerintah dari hasil pemangkasan anggaran APBN 2025. Berbekal modal awal tersebut, maka Danantara diproyeksi akan mengelola dana kekayaan sebesar Rp. 14.000 triliun.
Singkat-nya, dana yang akan dikelola bukan kaleng-kaleng jumlah-nya. Otomatis, kalo ini salah kelola, sudah bisa dipastikan bahwa Danantara bukannya membawa visi Indonesia Emas, tapi Indonesia Cemas. (baca disini)
Cukup beralasan jika pihak yang mengelola seharusnya diambil tokoh profesional yang handal dibidangnya.
Alasan-nya simpel: pertama seorang profesional akan bekerja sesuai dengan kapabilitas yang dimiliki-nya, dan kedua nggak akan ada vested interest dari pengelola. Fokus-nya hanya satu, mencari cuan sebanyak-banyaknya bagi perusahaan yang dia kelola.
Lantas, bagaimana dengan Danantara?
Kepala Badan Pelaksana Danantara alias CEO adalah Rosan Perkasa Roeslani, yang merupakan mantan ketua Tim Kampanye Nasional Pragib pada pilpres yang lalu. Atas jasa-nya itu, masuk akal jika Rosan mendapat kursi empuk sebagai Menteri Investasi oleh Prabowo.
Bisa dikatakan, Rosan adalah figur politik yang sudah pasti nggak bebas kepentingan (meskipun punya ‘kemampuan’ dalam mengelola bisnis).
Belum lagi jika menyangkut rekam jejak. Seorang Rosan terbukti terlibat dalam kasus pengalihan dana di perusahaan Asia Resource Minerals a.k.a BUMI Plc pada 2014, oleh Pengadilan Arbitrase Singapura, dan dikenakan denda sebesar USD 173 juta.
Kasus ini terjadi saat Rosan menjabat sebagai direktur pada perusahaan tersebut. (https://www.tambang.co.id/kasus-berau-rosan-p-roeslani-kalah-di-arbitrase)
Kasus kedua, saat PT Asuransi Recapital yang merupakan perusahaan patungan Rosan dan Sandiaga Uno, terpaksa ditutup oleh Otoritas Jasa Keuangan di tahun 2020 silam, karena nggak mampu menyediakan solvabilitas minimum untuk beroperasi. (https://finansial.bisnis.com/read/20201031/215/1311776/tegas-asuransi-recapital-milik-sandiaga-uno-rosan-ditutup-ojk)
Kasus selanjutnya adalah ASABRI dengan kerugian negara mencapai hampir Rp 23 triliun. Menurut pihak kejaksaan, ada 10 perusahaan pengelola dana investasi yang diduga terlibat didalamnya, dan salah satunya adalah PT Recapital Asset Management (RAM).
Siapa pemilik RAM?
Tentu saja Bung Rosan.
Sekarang coba anda jawab. Ada nggak jaminan bahwa seorang dengan rekam jejak ‘penyelewengan anggaran’ plus ketidak piawaian-nya, nggak akan mengulangi kesalahan yang sama dikemudian hari?
Bayangkan jika anda adalah seorang investor.
Bersediakah anda jika tempat anda berinvestasi dikelola orang dengan rekam jejak nggak punya integritas dan kapabilitas?
Masalah selanjutnya adalah memasukkan bank-bank plat merah pada Danantara. Bukankah ini terlalu riskan, mengingat sistem perbank-an bersifat sistemik. (https://www.sciencedirect.com/science/article/abs/pii/S0378426617301310)
Kalo saja bank sekelas Century berhasil buat kalang kabut Indonesia di tahun 2008 silam karena dianggap gagal dan kemudian berdampak sistemik (jika nggak segera di bail-out), bagaimana dengan bank-bank plat merah dengan total dana kelola yang jauh lebih besar?
Belum lagi masalah teknis yang menyangkut privatisasi (baca Bab VIII, UU BUMN yang baru). (https://peraturan.bpk.go.id/Download/375602/UU%20Nomor%201%20Tahun%202025.pdf)
Dalam hal ini, Menteri BUMN adalah pihak yang berwenang dalam menggelar privatisasi aset. Teknis-nya, rencana tersebut akan dibawa pada Komite Privatisasi dengan ketua-nya adalah Menteri BUMN sendiri. Selain itu, Ketua Dewan Pengawas Privatisasi adalah menteri yang sama.
Setelah rencana-nya oke, maka presiden akan memutuskan dengan cara menerbitkan PP yang telah disetujui oleh alat kelengkapan DPR (pasal 82). Jadi bukan lewat mekanisme rapat pleno DPR alias cukup perwakilan-nya saja.
Bukankah proses kongkalikong dengan dalih ‘menyelamatkan’ perusahaan negara, jadi lebih mudah dengan mekanisme ini?
Kesimpulannya: dengan sejumlah catatan di atas, kira-kira Danantara akan jalan sesuai rencana atau justru sebaliknya?
Silakan anda jawab sendiri.
Anyway, terlepas semua itu, isu Danantara antara kubu yang pro dan kontra, nyatanya kedua kubu bisa menerima kehadirannya, bukan (meskipun dengan sejumlah catatan)?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)