Menumpuk Kekecewaan
Oleh: Ndaru Anugerah
Kemenag melalui Yaqut Cholil Qoumas melakukan konpers secara daring menyampaikan kepada publik tentang pembatalan ibadah Haji pada 2021 ini. (https://jatim.inews.id/berita/ibadah-haji-2021-batal-daftar-tunggu-calon-jemaah-baru-jadi-31-tahun).
Apa alasan pembatalan?
Setidaknya ada 2 alasan.
Pertama menyangkut kesehatan, dimana pandemi Kopit yang saat ini masih belum berakhir. Dan yang kedua, Arab Saudi selaku tuan rumah hingga saat ini belum juga mengundang pemerintah Indonesia untuk menandatangani nota kesepahaman terkait rencana haji 2021.
Jadi karena belum ada kuota yang diberikan Saudi, rencana pelaksanaan haji tahun ini dibatalkan.
Akibatnya sekitar 1,5 juta calon Jemaah haji tahun ini ‘dipaksa’ menunda keberangkatannya. Dan secara umum, kebijakan yang dibuat pemerintah memicu kekecewaan publik.
Ini bukan tanpa sebab.
Tahun lalu, pembatalan jamaah calon haji juga mengalami nasib serupa, seperti halnya mudik. (https://www.kompas.com/tren/read/2020/06/04/184757865/haji-2020-batal-ini-dua-peristiwa-lain-yang-pernah-membuat-haji-batal?page=all)
Coba anda bayangkan jika anda termasuk calon jamaah haji. Apa nggak kecewa melihat beleid yang diambil pemerintah? Harus berapa lama lagi anda harus menunggu?
Melihat situasi yang kondusif ini, pihak oposisi memanfaat momentum yang ada.
Dibuatlah narasi bahwa pemerintah sengaja membatalkan haji karena uangnya telah dipakai untuk mendanai proyek infrastruktur. (https://money.kompas.com/read/2021/06/09/114632926/geger-uas-tuding-dana-haji-untuk-infrastruktur-benarkah?page=all)
Tentang hal ini ada benarnya, ada juga hal yang belum terverifikasi.
Maksudnya?
Kepala BPKH menyatakan bahwa dana milik calon jamaah haji yang tertunda, statusnya aman. “Saldo per Mei 2021 sebesar Rp 150 triliun dikelola dengan baik,” ungkapnya. (https://www.wartaekonomi.co.id/read345080/bpkh-dana-haji-per-mei-2021-capai-rp150-triliun)
Namun di Indonesia, sudah lazim bahwa masyarakat kerap mempertanyakan pernyataan yang dikeluarkan seorang pejabat publik. Contoh sederhana ya soal dana haji ini. Apa benar telah dikelola dengan baik?
Lalu kalo benar telah dikelola dengan baik, uangnya digunakan untuk apa saja? Apa benar nggak untuk pembiayaan infrastruktur seperti yang dituding oleh oposan tersebut?
Ini bukannya tanpa dasar.
Wapres Ma’ruf Amin melalui video lawas yang beredar luas di masyarakat, pernah menyatakan bahwa dana haji memang digunakan untuk proyek infrastruktur melalui skema SUKUK. (https://www.tribunnews.com/nasional/2021/06/09/beredar-video-wapres-maruf-bolehkan-dana-haji-untuk-investasi-ini-klarifikasi-jubir)
Meskipun telah diklarifikasi sana sini plus pengerahan buzzer, namun video itu sudah terlanjur menyebar luas ke masyarakat. Yang masyarakat tahu, dana haji telah dipakai untuk bangun infrastruktur seperti yang dilontarkan oleh pihak oposisi. Titik.
Hal kedua yang mendasari adalah penyataan presiden Jokowi sendiri.
Saat melantik pimpinan BPKH di Juli 2017 silam, beliau menyatakan bahwa dana haji yang mengendap, lebih baik diinvestasikan pada hal yang berisiko kecil namun dapat memberi keuntungan besar.
Dan proyek infrastruktur masuk dalam kriteria tersebut. (https://tirto.id/kontroversi-investasi-dana-haji-faedah-atau-salah-kaprah-ctGn)
Jadi, kalo ada ‘gorengan’ tentang pemerintah yang dituding telah menggunakan dana calon haji untuk membiayai proyek infrastruktur, itu logis untuk diontarkan.
Seharusnya yang dilakukan pemerintah adalah memberikan transparansi tentang pengelolaan dana dari BPKH tersebut, bukan malah sibuk klarifikasi sana-sini, apalagi ngandelin buzzer. Itu nggak bijak.
Mengapa?
Karena hingga saat ini, BPKH selaku pihak yang mengelola dana haji, belum buka suara perihal dananya diinvestasikan kemana saja. Menjadi lumrah kalo kemudian publik meminta audit atas dana haji tersebut. (https://politik.rmol.id/read/2021/06/07/491007/tuntutan-audit-dana-haji-meluas-pimpinan-mpr-minta-bpk-segera-bergerak)
Lagian, kalo bersih, ngapain harus risih? Iya nggak sih?
Terlepas dari semua itu, apa yang saat ini terjadi, merupakan ‘tabungan’ ketidakpercayaan publik kepada pemerintah. Mudik sudah 2 kali dilarang. Rencana pemberangkatan haji juga punya masalah yang sama.
Pertanyaannya: apa ada jaminan bahwa pandemi akan berakhir ‘secepatnya’, sehingga semua dapat berjalan normal kembali di tahun depan (termasuk soal haji dan mudik)? Nggak ada, bukan?
Belum lagi, kondisi ekonomi yang makin terseok-seok akibat kebijakan ‘abrakadabra’ yang diambil terkait pandemi.
Mari kita pikir bersama, apakah kekecewaan publik pada pemerintah tidak menemui muaranya di tahun depan?
Nggak butuh seorang Einstein untuk menjawab masalah ini, kan Bray?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)
0 Comments