Ketika Modal Joget Bisa Menang (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah – 29112024
Pada bagian pertama tulisan kita sudah bahas bagaimana dinasti Marcos yang sukses dimakzulkan oleh rakyat Filipina, kemudian bisa tampil kembali ke pentas politik nasional.
Ini bisa terjadi karena nggak ada penanganan yang tuntas dari negara dalam menanggulangi segudang kasus hukum yang pernah diperbuat rezim Marcos semasa menjadi diktator. Dengan uang segudang, rezim Marcos berhasil menyusun kekuatan secara perlahan. (baca disini)
Disini yang perlu anda ketahui bahwa kembalinya putra mahkota ke kursi singgahsana, bukan proses ala Sangkuriang membuat danau yang terjadi dalam semalam. Bukan. Itu semua dilakukan lewat proses panjang dan tentu saja terencana dengan baik.
Yang paling apik adalah bagaimana dinasti Marcos mencoba membangun image seolah-olah bahwa rezim Marcos-lah yang sukses membawa Filipina ke masa ke-emasan dengan pembangunan infrastruktur dan maraknya investasi asing di negara tersebut. (https://www.asiapacific.ca/publication/election-watch-philippines-dispatch-6-marcos-legacy-and-youth)
Dan ini bisa terjadi karena pemerintah Filipina nggak pernah mengajarkan sejarah yang benar kepada generasi muda Filipina atas kekejaman yang pernah dibuat rezim Marcos dengan Martial Law-nya. Nggak pernah ada catatan sejarah dari negara tentang hal tersebut.
Ini jelas peluang bagi dinasti Marcos untuk memutar balikkan narasi, utamanya kepada generasi muda Filipina yang buta akan sejarah bangsanya. “Enak jamanku, toh,” begitu kurleb-nya. Ini yang terus digaungkan rezim Marcos kepada rakyat Filipina.
Jadi kalo dinasti Marcos suatu saat nanti kembali berkuasa karena narasi tersebut, nggak ada hal yang salah, bukan?
Hal kedua yang sukses mengantar dinasti Marcos kembali bercokol adalah karena kelihaian seorang Imelda sebagai sosok dibelakang layar.
Maksudnya dimana?
Sejak awal Imelda sadar, bahwa untuk bisa kembali ke kancah politik, butuh kekuatan pendukung. Nggak cukup hanya one man shows.
Harus ada kolaborasi antara banyak pihak untuk meraih posisi Filipina 1.
Nggak aneh jika sosok Duterte yang se-frekuensi dengan dinasti Marcos, yang kemudian digandeng sebagai rekan koalisi. Kedua-nya lantas menjalin persekutuan taktis dan menjadikan ‘Filipina bersatu’ sebagai jargon utama kampanye-nya. (https://www.philstar.com/headlines/2022/02/09/2159653/its-unity-unity-unity-uniteams-presidential-bet-marcos)
Ini kontras dengan penantangnya, Leni Robredo yang cenderung nggak luwes dalam menggarap jargon kampanye-nya.
Sebagai antitesis dari penantangnya, Robredo malah menggalang massa generasi muda untuk menentang kekuatan dinasti Marcos untuk bisa bercokol kembali ke panggung politik nasional, dengan mengusung tema kampanye ‘revolusi pink’. Sudah tentu ini nggak populer. (https://www.bbc.com/news/world-asia-61318519)
Kebayang dong, generasi muda Filipina mana tahu kekejaman Marcos? Lha saat mereka nongol ke dunia, mereka nggak mengalami hal itu. Lagian, pemerintah Filipina juga nggak pernah kasih catatan sejarah yang valid pada mereka tentang sisi kelam rezim Marcos.
Belum lagi sosok Robredo yang terkenal kaku dalam menerapkan konstitusi. Menjadi ancaman bagi para kroni Marcos dan Duterte yang kerap menggunakan dan memanipulasi kekuasaan jika seandainya Robredo berkuasa, karena ruang gerak mereka jadi lebih terbatas seperti masa Presiden Noynoy Aquino berkuasa.
Menjadi wajar jika kemudian Robredo kemudian keok dikeroyok dua kekuatan besar yang berada pada satu kubu untuk mengalahkannya.
Lalu bagaimana duet dinasti Marcos dan Duterte bisa memenangkan kontestasi?
Dengan mengoptimalkan kanal media sosial, dari mulai TikTok, Instagram hingga Facebook, sebagai sarana untuk kampanye mereka. Tentu saja ini dilakukan secara terencana dan masif. (https://time.com/6173757/bongbong-marcos-tiktok-philippines-election/)
Penggunaan media sosial juga bukan tanpa alasan, mengingat medsos nggak mengenal aturan publikasi yang mensyaratkan adanya fakta yang bisa divalidasi sesuai akidah jurnalistik. Jadi yang terpenting bukan soal kualitas kampanye tapi durasi alias kuantitas.
Dengan menggunakan medsos, tim kampanye Bongbong bebas memproduksi propaganda seluas-luasnya, bahkan membalikkan narasi akan kejamnya dinasti Marcos dengan Martial Law-nya. Yang ada malah KEBAIKAN dinasti Marcos dengan segudang capaiannya yang membuat Filipina ke era ke-emasan.
Teknisnya begini, jika orang Filipina membuka kanal media sosial mereka, maka akan muncul sosok Bongbong beserta materi kampanye-nya yang sangat minim program.
Bagaimana kita tahu kok minim program?
Karena dalam materi kampanye-nya, Bongbong bukannya jelasin program-programnya, malah sibuk mempertontonkan gummick politik serba gaje berupa joget-joget.
Lha emangnya joget-joget bisa menjelaskan apa? Apa kontribusinya dengan apa yang akan Bongbong lakukan jika seandainya dirinya terpilih? Nggak ada substansinya samsek.
Ini bukan tuduhan tanpa alasan.
Karena ketidakmampuannya dalam menjelaskan program yang dia akan lakukan jika seandainya dia terpilih (selain beban masa lalu orang tua-nya), Bongbong juga selalu menghindari debat publik.
Makanya setiap ada undangan debat, Bongbong nggak akan meladeni. Ataupun saat ada undangan wawancara dengan media massa yang kritis, Bongbong juga nggak akan meladeni.
Kenapa?
Karena nggak tahu harus kasih jawaban apa. Lebih gampang joget-joget di medsos, yang sudah pasti gampang diterima publik Filipina yang gemar mengoperasikan smartphone mereka ketimbang harus disuruh berpikir keras mendengarkan paparan program.
Klop sudah.
Jadi kemenangan dinasti Marcos, sebenarnya bukan sesuatu yang terjadi dalam waktu singkat. Semua sudah direncanakan jauh-jauh hari.
Dengan adanya amunisi dan kelihay-an dalam melihat situasi nasional, nggak terlalu sulit bagi dinasti Marcos untuk membius publik Filipina dalam memilih mereka. Meskipun setelah sukses terpilih rakyat Filipina nggak jelas bakal dikasih apa, itu nggak terlalu penting.
Yang diingat warga adalah sensasi joget dan lucu-lucuan semata. Gimmick.
Anyway, cerita di Filipina kok mirip dengan apa yang terjadi di Planet Namek, yah?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)