Hanya Permainan Kata Saja (*Bagian 2)


531

Hanya Permainan Kata Saja (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah – 04092024

Pada bagian pertama tulisan kita sudah melihat narasi yang menyatakan bahwa rekayasa genetika telah membawa perubahan positif bagi hidup manusia.

Dan ini terus diamplifikasi oleh media mainstream dengan harapan kita punya satu persepsi: kita bersiap untuk memakai produk hasil rekayasa genetika dalam hidup kita. (baca disini)

Di sisi yang lain, kita juga tahu bahwa ada kerancuan istilah yang digunakan oleh media mainstream menyangkut penyuntingan gen dan modifikasi gen. Seolah-olah keduanya dianggap sama, walaupun kenyataannya berbeda.

Kenapa bisa demikian?

Karena orang sudah mulai paham bahwa produk modifikasi gen akan membawa dampak negatif pada diri orang mengonsumsinya. Oleh sebab itu, di beberapa negara, mereka wajib mencantumkan label GMO pada tiap produk yang memang dihasilkan melalui modifikasi genetika.

Kalo sudah begini, maka bisa dipastikan bahwa produk-produk GMO nggak akan laku dipasaran karena masyarakat yang kritis (biasanya di negara-negara maju) akan menghindari penggunaannya. (https://scielo.conicyt.cl/fbpe/img/ejb/v6n1/a04/bip/)

Dan ini merugikan pabrikan penghasil produk GMO.

Solusinya?

Harus ada terobosan sehingga orang nggak lagi alergi terhadap produk GMO.

Caranya?

Di Amrik sendiri, label GMO sudah diubah menjadi BE alias Bio-Engineered sejak Januari 2022 silam. Jadi orang akan pangling dengan produk GMO yang telah memakai ‘pakaian’ barunya. (https://www.npr.org/2022/01/05/1070212871/usda-bioengineered-food-label-gmo)

Sedang di Inggris sendiri, mereka memakai payung regulasi. Term GMO otomatis digantikan oleh hasil rekayasa genetika berdasarkan UU yang dirilis pad 2023 silam. Dengan demikian, ‘istilah GM tidak lagi disematkan pada organisme yang telah diedit secara genetik’. (https://bills.parliament.uk/bills/3167)

Pada spektrum yang lebih luas lagi, Parlemen Uni Eropa yang tadinya selektif pada produk-produk GMO, saat ini telah melonggarkan regulasinya pada tanaman hasil modifikasi gen. (https://www.science.org/content/article/european-parliament-votes-ease-regulation-gene-edited-crops)

Bahkan Swiss lebih gamblang lagi. Dikatakan bahwa mereka telah melegalisasi proses penyuntingan gen pada tanaman dengan harapan dapat mengurangi penggunaan pestisida. (https://geneticliteracyproject.org/2024/08/20/in-hopes-to-cut-pesticide-use-switzerland-edges-closer-to-legalizing-crop-gene-editing/)

Jadi apa yang bisa ditangkap dari fenomena ini?

Mau nggak mau, semua akan mengikuti langkah serupa dan bersiap untuk menerima kehadiran GMO dengan atribut barunya. Karena ada legalisasi dari pemerintah, maka menjadi nggak relevan jika anda bertanya tentang keamanan produk GMO.

Sudah pasti aman 100%. Titik.

“Tapi kan bang, bukankah regulasi GMO hanya berlaku pada negara-negara Barat saja?” tanya seorang netizen.

Mari kita lihat faktanya.

Kita ketahui bersama bahwa Rusia terkenal sebagai negara yang paling vokal menentang produk-produk GMO untuk dikonsumsi manusia, bahkan mereka melarang impor dan distribusinya di wilayah mereka. (https://www.loc.gov/item/global-legal-monitor/2016-07-01/russia-full-ban-on-food-with-gmos/)

Jadi Rusia yang dikenal sebagai Poros Perlawanan, bakalan menentang rencana promosi produk GMO sang Ndoro Besar?

Nanti dulu.

Berdasarkan faktanya, Rusia telah menginvestasikan miliaran Rubel untuk berbagai proyek pengeditan gen tanaman dan hewan sejak 2019 silam. Jadi artinya, Rusia juga mendukung GMO. (https://www.nature.com/articles/d41586-019-01519-6)

Bagaimana dengan China?

Sepertinya 11-12. Berdasarkan laporan, di bulan Mei 2023, setelah puluhan tahun dilarang, China akhirnya mulai menanam tanaman hasil rekayasa genetika. (https://thechinaproject.com/2023/05/18/chinas-gradual-moves-towards-gene-edited-crops/)

Cerita nggak berhenti sampai disitu.

Tepat setahun kemudian, Tiongkok secara resmi menyetujui gandum hasil rekayasa genetika untuk dikonsumsi manusia. (https://stratnewsglobal.com/china/china-approves-first-gene-edited-wheat-opens-door-to-gm-technology-for-food-crops/)

Jadi, negara manapun itu yang bakal memenangkan Perang Dunia III (mau NATO ataupun BRICS), tetap saja produk-produk GMO akan selalu ada sebagai menu tersaji di negara mereka.

Anda nggak boleh protes akan hal ini.

Sekarang kita bicara soal skenario yang bakal dimainkan.

Pada tataran teknis, perusahaan raksasa yang bergerak dalam bidang bioteknologi bakal menguasai pasokan benih, karena tanaman GMO nggak menghasilkan benih yang bisa ditanam kembali alias tanaman steril.

Akibatnya, perusahaan-perusahaan bioteknologi tersebut bakal memonopoli siklus perdagangan benih dan otomatis menguasai pasokan pangan dunia.

Namun ada satu titik lemah, dimana tanaman GMO ternyata bisa dikawinkan dengan tanaman yang berkerabat dekat. Kalo ini terjadi, maka upaya memonopoli GMO bakal sia-sia.

Untuk mengatasi masalah ini, maka dikeluarkanlah aturan Genetic Use Restriction Tecnologies (GURT) alias benih terminator sehingga nggak boleh ada perkawinan silang dengan dalih melindungi hak paten atas benih GMO. (https://royalsociety.org/news-resources/projects/gm-plants/what-can-be-done-to-prevent-cross-breeding-of-gm-crops/)

Dengan skenario ini, maka para petani bakal terus bergantung pada perusahaan raksasa bioteknologi untuk mendapatkan benih GMO yang mereka produksi, setiap kali musim tanam tiba.

Jadi ingat kata-kata Henry Kissinger: mereka yang mengontrol pasokan pangan, otomatis bakal mengontrol ‘orang’.

Siapa orang yang dimaksud Kissinger?

Tentu saja anda-anda sekalian. Masa iya lurah pinokio?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!