Duterte Masuk Kandang (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah – 18032025
Siapa yang nggak kenal mantan presiden Filipina, Rodrigo Duterte?
Sosok yang dikenal keras tersebut, baru-baru ini ditangkap oleh polisi di bandara internasional Manila setelah melakukan kunjungan ke Hong Kong.
Menariknya, penangkapan itu dilakukan atas perintah Pengadilan Kriminal Internasional a.k.a International Criminal Court. (https://www.cnn.com/2025/03/12/asia/philippines-duterte-icc-arrest-explainer-intl-hnk/index.html)
Kenapa penangkapan dilakukan?
Karena terkait kasus kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sang mantan presiden terhadap kartel narkoba yang beroperasi di Filipina. “Duterte ditangkap karena dianggap telah melakukan pembunuhan massal terhadap jaringan narkoba secara ilegal,” ungkap pejabat berwenang.
Berdasarkan informasinya, ICC telah meluncurkan penyelidikan atas pembunuhan terkait narkoba sejak 1 November 2011, saat Duterte masih menjabat sebagai wali kota Davao, hingga 16 Maret 2019. (https://www.politico.com/news/2025/03/10/former-philippine-leader-duterte-arrested-on-an-international-criminal-court-warrant-00223197)
Nah, saat itulah Duterte ditenggarai melakukan serangkaian eksekusi terhadap jaringan narkoba.
Nggak mengherankan jika di tahun 2019 silam (saat masih menjabat), Duterte menarik Filipina keluar dari Statuta Roma (yang jadi dasar ICC), sehingga menimbulkan kesan bahwa dirinya mencoba menghindar tanggungjawab atas eksekusi brutal tersebut. (https://www.karapatan.org/media_release/karapatan-on-the-6th-year-after-ph-withdrawal-from-the-rome-statute/)
Akibatnya, meskipun ICC melakukan tindakan investigatif, menjadi percuma karena disaat yang sama pemerintah Duterte justru menarik diri dari statuta tersebut.
“Pemerintah Filipna telah melakukan penyelidikan atas kasus yang sama, sehingga ICC tidak memiliki yurisdiksi atas kasus tersebut,” begitu kurleb-nya seraya mengajukan banding.
Atas sikap politis yang diambil pemerintahan Duterte, hakim ICC mengajukan banding. Hasilnya, pada Juli 2023 silam, penyelidikan dapat dilanjutkan dan menolak keberatan yang dilayangkan pemerintahan Filipina saat itu.
Masalah makin kusut, saat presiden Filipina yang baru menggantikan Duterte di tahun 2022, Ferdinand Marcos Jr, terlibat konflik keras dengan Duterte. (baca disini dan disini)
Akibatnya, pemerintahan Marcos Jr mengatakan siap bekerja sama jika ICC meminta polisi internasional untuk menahan Duterte melalui apa yang disebut Red Notice. (https://www.dailysabah.com/world/asia-pacific/philippines-arrests-ex-leader-duterte-in-icc-case-over-drug-killings)
Dengan mekanisme ini, maka penegak hukum di Filipina bisa-bisa saja menangkap sementara tersangka kejahatan, tak terkecuali Duterte. Bukankah ini cara termudah bagi seorang Marcos Jr dalam menyingkirkan pesaingnya di panggung politik?
Dan akhir pertikaian antara kubu Marcos dan Duterte, sudah bisa kita lihat bersama.
Sebenarnya apa yang telah dilakukan Duterte?
Selama menjabat, Duterte telah melakukan proyek senyap yang dinamakan war on drugs alias perang melawan narkoba, sejak 2016-2022 silam. Setidaknya begitu bunyi dakwaan ICC terhadap dirinya.
“Duterte telah menyusun, mendanai dan mempersenjatai ‘pasukan pembunuh’ yang melakukan eksekusi terhadap tersangka pengedar dan pengguna narkoba,” ungkap ICC. (https://www.rt.com/news/614197-duterte-philippines-icc-drugs/)
Perlu kita ketahui bersama, bahwa nggak lama setelah dilantik, Duterte langsung mengatakan dirinya siap membersihkan negara dari jaringan narkotika ilegal dengan memerintahkan aparat keamanan untuk menggunakan kekuatan yang mematikan terhadap tersangka narkoba.
Apalagi jika mereka yakin bahwa diri mereka ada dalam bahaya. Maka mesiu akan langsung dimuntahkan dengan alasan keselamatan.
Mungkin anda pernah dengar dengan istilah Davao Death Squad (DDS) yang dibentuk Duterte di tahun 2016? Ya itulah tim eksekusi binaan Duterte dalam menghabisi para gembong narkoba di Filipina. (https://www.reuters.com/investigates/special-report/philippines-drugs-squad/)
Apakah DDS sukses mengeksekusi gembong narkoba?
Bisa dikatakan demikian.
“Aparat kepolisian telah menewaskan setidaknya 6600 orang dalam baku tembak dengan tersangka pengedar narkoba sejak saya dilantik di tahun 2016 silam,” ungkap Duterte. (https://www.thejakartapost.com/seasia/2019/07/12/un-to-probe-philippines-drug-war-deaths.html)
Angka yang lumayan kecil, dibandingkan angka yang diklaim para aktivis HAM yang menyatakan bahwa korban operasi Duterte yang sesungguhnya bahkan mencapai hingga 27 ribu nyawa melayang.
Apakah Duterte menggunakan aparat keamanan resmi dalam menghabisi gangster narkoba?
Belakangan, informasi tersebut dibantah Duterte dengan menyatakan bahwa DDS bukanlah beranggotakan aparat kepolisian, melainkan para anggota gangster.
Jadi kelompok gangster digunakan Duterte guna menghabisi kelompok gangster yang lain. (https://www.news18.com/world/ex-philippines-president-duterte-confirms-death-squad-of-gangsters-in-shocking-testimony-9104649.html)
Agak janggal kedengarannya.
Mana ada ceritanya negara melegalisasi gangster guna menghabisi kelompok gangster yang lain? Kalo-pun itu terjadi, berarti negara tetap melegalisasi kejahatan dong?
Terlepas dari pro dan kontra, aksi pemberantasan narkoba tersebut sukses membuat para gembong tiarap dibawah rezim Duterte. (https://newsinfo.inquirer.net/2004476/fwd-drug-war-successful-prevalence-of-narcotics-minimized-duterte-claims)
Dan berdasarkan azas manfaat, nggak ada yang salah dengan aksi yang digelar Duterte.
Coba anda pikir: berapa orang (khususnya kaum muda) yang meninggoy akibat narkoba? Apakah jumlahnya lebih kecil dari gembong narkoba yang diberangus Duterte?
Dengan kata lain, cara Duterte dalam melindungi warga Filipina dari bahaya narkoba, sangat efektif. Mana ada ceritanya gembong narkoba berhenti beroperasi dengan tindakan persuasif? Lain cerita kalo tindakan main jedor digelar ala Duterte.
Hanya saja selalu ada celah. Dan HAM adalah celah dimana aksi Duterte bisa dianggap barbar.
Lantas kenapa ICC bereaksi keras terhadap proyek senyap Duterte dengan berkedok pelanggaran HAM?
Apakah ICC bebas kepentingan dalam mencokok Duterte?
Untuk itu, kita perlu tahu apa jeroan lembaga HAM internasional ini.
Besok kita akan membahasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)