Drama Pilkada (*Bagian 2)


519

Drama Pilkada (*Bagian 2)

Oleh: Ndaru Anugerah – 29082024

Sebelum kita bahas lebih lanjut pada ulasan kali ini, 2 pertanyaan masih menggantung diakhir ulasan saya yang pertama. Pertama menyangkut alasan mengapa Partai Buruh mengajukan gugatan ke MK tentang electoral treshold dan kedua kenapa pada saat pendaftaran calon kepala daerah putusan MK baru dirilis.

Bukankah gugatan-nya diluncurkan pada Mei silam? Kenapa baru sekarang dikabulkan? (baca disini)

Untuk menjawab pertanyaan pertama, pernyataan yang diungkapkan jurnalis investigasi Kit Klarenberg pada 2023 silam, layak dicermati. “AS khawatir akan perkembangan nasib demokrasi di Indonesia,” begitu kurleb-nya. (https://www.mintpressnews.com/leak-cia-ned-color-revolution-coup-indonesia/285617/)

Kenapa AS sampai mengeluarkan pernyataan seperti itu?

Salah satu point-nya adalah karena Anies Baswedan bakal diprediksi kalah pada gelaran pilpres dan Prabowo bakal menggantikannya. Dan ini belakangan terbukti.

Selain itu aturan electoral treshold yang dibuat dengan menetapkan ambang batas 20%, jelas merugikan kebijakan AS di Indonesia. Harapannya aturan tersebut dihapus, sehingga makin banyak lagi calon yang bisa berkontestasi pada gelaran pilpres atau pilkada.

Singkat cerita, AS menyuruh salah satu ‘lengan-nya’ di Indonesia, untuk mengajukan gugatan ke MK menyangkut ambang batas seorang calon bisa diajukan untuk berkontestasi.

Jika kemudian ada parpol yang mengajukan gugatan ke MK yang menyangkut ambang batas pengajuan calon, apakah ini hanya kebetulan? Atau justru ada intervensi?

Keributan yang terjadi karena mendukung putusan MK yang terjadi belakangan ini, apakah ini juga terjadi secara spontan atau justru ada grand design-nya?

Kalo memang terjadi spontan dengan tuntutan agar putusan MK ditegakkan, kenapa di beberapa daerah masih berlangsung demonstrasi dengan tuntutan agar lurah pinokio lengser dari jabatannya? (https://soloraya.solopos.com/ratusan-mahasiswa-demo-di-gedung-dprd-solo-sempat-saling-dorong-dan-bakar-ban-1991080)

Silakan anda jawab sendiri pertanyaan-pertanyaan tersebut.

Kita lanjut yah..

Pada mulanya, pak lurah dan rekan koalisinya berencana membuat pilkada hanya sekedar ajang bagi-bagi kapling. Caranya dengan mengajukan satu paslon dan menutup upaya paslon alternatif untuk ikutan berkompetisi.

Untuk menyiasati agar tidak tercipta kotak kosong, maka diciptakanlah paslon alternatif yang maju lewat jalur independen.

Jangan heran jika paslon independen yang tingkat elektabilitasnya rendah bisa maju dengan ‘mencatut’ NIK warga. Yah karena memang itu skenarionya. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240819140939-617-1134835/kpu-dki-tetapkan-dharma-pongrekun-kun-calon-independen)

Tapi rencana tinggal rencana, karena MK sudah menetapkan putusannya.

Dan tekanan massa cukup membuat Wowo ketar-ketir. Bila bola liar terus bergulir, maka bukan nggak mungkin sasaran berikutnya adalah destabilitasi politik nasional.

Dan jika destabilitas politik terjadi, maka siapa yang dirugikan?

Tentu saja presiden terpilih yang akan dilantik Oktober mendatang

Nggak lucu juga kan kalo tinggal 2 bulan lagi dilantik, tetiba Wowo batal jadi presiden karena gerakan massa menciptakan ruang kosong kekuasaan.

Padahal sudah sangat lama Wowo mengidam-idamkan situasi ini. Bahkan 3 kali gelaran pilpres dijalani-nya karena cita-citanya ingin jadi orang nomor 1 di Planet Namek.

Selain itu, Wowo memiliki pengalaman traumatik menyangkut gerakan massa. Bukankah gerakan massa di 1998 silam, sukses mengandaskan karir-nya dengan ‘ditendang’ dari dinas kemiliteran? (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240228070323-20-1068072/tni-prabowo-diberhentikan-dengan-hormat-tak-ada-kata-pemecatan)

Singkatnya, situasi ini membuat Prabowo nggak nyaman. Agar nggak terkena efek karambol dari gerakan massa, sasus beredar, Wowo suruh anak buahnya untuk bertindak.

Nggak aneh jika salah satu petinggi Partai Gerindra di DPR menyatakan bahwa revisi RUU pilkada dibatalkan. Dengan demikian, otomatis putusan MK yang jadi rujukan paslon untuk bisa berkontestasi. (https://nasional.tempo.co/read/1907375/dasco-sebut-dpr-batalkan-pengesahan-ruu-pilkada-bukan-karena-demonstrasi)

Sikap balik badan Prabowo ini, konon sudah diprediksi sama pak lurah.

Makanya lewat petinggi Partai Kuning, dia menyampaikan ancaman terbuka buat koalisi partai, “Jangan macam-macam dengan Raja Jawa kalo mau ‘aman’.” Tapi toh ancaman tersebut nggak digubris. (https://nasional.kompas.com/read/2024/08/21/22452251/siapa-raja-jawa-yang-disebut-bahlil-bisa-bikin-celaka-kalau-berani-main-main)

Apa daya pak lurah. Rupanya Wowo punya alur pikiran yang berbeda dengan dirinya. Dan ini merupakan bibit perpecahan antara keduanya, yang dahulu sempat ‘memadu asmara’ karena kepentingan taktis di gelaran pilpres silam.

Tambahan lagi Wowo pernah bilang tentang sosok yang ‘rakus’ kekuasaan yang menindas kepentingan rakyat. Pada siapa sosok ‘tamak’ tersebut dialamatkan? (https://rmol.id/politik/read/2024/08/25/634212/prabowo-sentil-para-raja-kecil-di-pusat-dan-daerah-agar-tidak-rakus-kekuasaan)

Dengan memberikan arahan pada kadernya agar mematuhi putusan MK tersebut, maka secara nggak langsung Wowo membuka celah agar koalisi gemuk pak lurah untuk bubar jalan.

Sinyal itu makin terlihat saat Partai Kuning malah menyorong paslon-nya di Banten yang sebelumnya hanya diusung oleh Partai Banteng. (https://www.cnbcindonesia.com/news/20240827131757-4-566725/heboh-golkar-usung-airin-di-pilgub-banten-batal-dukung-andra-soni)

Tak heran jika pak lurah merespon gelagat Wowo dengan menyatakan bahwa dirinya harus siap bakal ‘ditinggalkan’ oleh koalisi besar yang pernah dia buat. (https://www.cnnindonesia.com/nasional/20240825214613-32-1137345/jokowi-sindir-pihak-pernah-datang-ramai-ramai-kini-pergi-ramai-ramai)

Apakah pak lurah hanya bisa pasrah melihat dirinya dikhianati dan ditinggalkan koalisi besar yang dulu dia ciptakan?

Menurut analisa saya, sinyal ‘tertawa’nya pak lurah saat memberi restu paslon partai Banteng melaju ke gelaran pilkada Jekardah mendatang, merupakan isyarat dari dirinya untuk melawan koalisi besar yang kini mengusung paslon Bobotoh. (https://news.detik.com/pilkada/d-7513777/tawa-dan-restu-jokowi-saat-pramono-anung-minta-izin-jadi-cagub-jakarta)

Apa yang bisa disimpulkan?

Bagi saya, ilusi pilkada tak ada bedanya dengan ilusi pilpres. Drama sengaja digelar para ‘bandar’ agar anda terpancing emosinya dan mau ikutan ‘berpesta’.

Yang ada kemudian anda akan diadu dengan teman atau bahkan sanak saudara untuk sekedar mendukung salah satu paslon yang nggak mungkin juga memperjuangkan nasib anda.

Toh ujung-ujungnya, siapa yang diuntungkan selain bandar yang menggelar ‘pesta’ demokrasi?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!