Arah Baru Kebijakan Trump (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah – 21022025
Bagaimana arah kebijakan luar negeri AS pasca dilantiknya seorang Trump untuk memimpin negara tersebut? Apakah sama saja atau justru membawa hal yang berbeda?
Saya coba ulas, karena beberapa pembaca menanyakan hal yang sama.
Perlu kita ketahui bahwa garis kebijakan Trump berbeda dengan opa Biden, dimana konsep MAGA (Make America Great Again) yang dikedepankan.
Otomatis, concern Trump hanya pada kebijakan dalam negeri saja. America First, bahasa gaul-nya. (https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/2025/01/president-trumps-america-first-priorities/)
Lalu gimana nasib kebijakan luar negeri AS?
Karena peran AS selama ini jadi polisi dunia, maka otomatis AS perlu mengeluarkan banyak dana guna mendukung peran utamanya itu. Utamanya dalam menghadang musuh bebuyutan-nya, China dan Rusia.
Jadi, kebijakan luar negeri AS, sudah pasti boros anggaran.
“Ketimbang kasih bantuan luar negeri, mending duit-nya dipakai buat membangun negara aja,” mungkin demikian pemikiran Trump.
Dengan konsep America First, menjadi masuk akal jika kemudian lengan deep state sekelas USAID (yang jadi salah satu pendana revolusi warna di banyak negara), akhirnya ‘dilikuidasi’ dan dimerger dengan departemen luar negeri AS. Boros anggaran yang jadi alasan utama Trump. (https://www.nytimes.com/2025/02/07/us/politics/usaid-trump.html)
Saya pernah ulas tentang penutupan ini pada analisa sebelumnya. (baca disini)
Lalu bagaimana dengan konflik berkepanjangan ala Telenovela antara Ukraina dengan Rusia?
Di sini, kita bisa melihat sikap frontal yang ditunjukkan Trump atas pemimpin Ukraina, Volodymiy Zelensky. Berbicara secara gamblang, Trump menyatakan bahwa Presiden Zelensky adalah diktator tanpa pemilu.
“Sebaiknya Zelensky bergerak cepat atau dia tidak akan punya negara lagi. Zelensky adalah pelawak sukses yang telah melakukan pekerjaan buruk sebagai pemimpin negara” ungkap Trump. (https://www.themoscowtimes.com/2025/02/19/trump-slams-zelensky-as-dictator-without-elections-claims-only-he-can-end-ukraine-war-a88085)
Trump menambahkan, “Zelensky membujuk AS untuk dapat menghabiskan USD 350 miliar untuk ikutan perang yang tidak dapat dimenangkan-nya, dimana perang tersebut gak akan bisa dia selesaikan tanpa bantuan AS dan Trump.”
Gilanya lagi, Trump menyatakan bahwa Zelensky mengakui kalo setengah dari uang bantuan AS kepadanya telah hilang entah kemana. “Dia menolak pemilu karena elektabilitas-nya rendah,” begitu kurleb-nya. (https://www.politico.com/news/2025/02/19/trump-attacks-zelenskyy-as-a-dictator-without-elections-who-duped-us-00204881)
Nggak hanya itu, sebab Trump juga mengadakan pertemuan dengan pihak Rusia yang berlangsung di Arab Saudi menyangkut status perang di Ukraina yang seharusnya bisa diakhiri. Anehnya lagi, pertemuan itu digelar tanpa melibatkan Zelensky. (https://www.independent.co.uk/news/world/europe/ukraine-russia-war-talks-trump-putin-saudi-arabia-b2699476.html)
Artinya apa?
Zelensky nggak dianggap ada sama Trump. Apa yang bisa diandalkan dari seorang peminta-minta model Zelensky?
Lalu kenapa pertemuan digelar di Arab Saudi?
Sebab, Saudi punya ‘hutang’ yang harus dibayar pada Trump.
Saat jurnalis Saudi yang tinggal di AS, Jamal Khashoggi dibunuh di konsulat Saudi yang ada di Istanbul, CIA menyimpulkan bahwa Mohammed Bin Salman (MBS) yang bertanggungjawab atas eksekusi tersebut. (https://www.washingtonpost.com/world/national-security/cia-concludes-saudi-crown-prince-ordered-jamal-khashoggis-assassination/2018/11/16/98c89fe6-e9b2-11e8-a939-9469f1166f9d_story.html)
Laporan CIA atas kejadian yang berlangsung saat kepemimpinan Trump tersebut di tahun 2018 silam, mendapat penolakan dari Trump. “Mungkin MBS tahu peristiwa itu, mungkin juga nggak. Tapi hubungan baik dengan Saudi tetap harus dijaga,” begitu ungkap Trump.
Aliasnya Trump menolak rekomendasi yang diberikan CIA atas MBS.
Pada Rusia, seorang MBS juga punya hutang jasa. Saat banyak pihak menuding MBS sebagai aktor intelektual pembunuhan Khashoggi, Putin tetap menjaga hubungan baik dengan MBS dan negaranya. (https://edition.cnn.com/2018/10/25/europe/putin-saudi-khashoggi-intl/index.html)
Sebagai timbal baliknya, saat negara Barat memberikan tekanan pada pemerintahan Putin untuk mengisolasi negara tersebut karena menginvasi Ukraina, MBS menolak untuk melakukannya. (https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/13523260.2024.2384006#abstract)
Jika saat ini Saudi dibawah kepemimpinan MBS bertindak sebagai tuan rumah perundingan damai di Ukraina antara AS dan Rusia, itu menjadi hal yang masuk akal mengingat hutang jasa MBS pada kedua negara tersebut.
Karena ulah Trump, siapa yang meradang?
Setidaknya ada 2 pihak. Pertama tentu saja Ukraina, karena negaranya nggak ‘dianggap’ ada oleh AS maupun Rusia. Dan kedua Uni Eropa (secara khusus NATO) yang selama ini mendukung habis-habisan upaya AS dalam mempertahankan Ukraina agar nggak jatuh ke tangan Rusia.
Jika Zelensky meradang, itu wajar mengingat yang berkonflik dengan Rusia kan negara-nya. Ngapain juga ada pembicaraan antara AS dan Rusia atas nasib ‘masa depan’ Ukraina, tapi nggak ngajak pihak Ukraina untuk berunding? (https://www.bbc.com/news/articles/ckg051z21zno)
Nah trus, apa keberatan negara Uni Eropa secara khusus para anggota NATO?
Dengan adanya perundingan genjatan senjata antara AS dan Rusia, ini bisa menggeser peran Rusia pada papan catur geopolitik di Eropa. Bukan nggak mungkin Rusia akan memperkuat eksistensi-nya di Eropa, selepas absen-nya AS di Benua Biru tersebut.
Dan itu bukan nggak mungkin menjadi ancaman tersendiri bagi negara-negara Eropa.
“Pernyataan Trump soal Zelensky yang dicap sebagai diktator, bukan saja salah tapi juga membahayakan karena buktinya dia terpilih secara legitimate,” ungkap kanselir Olaf Scholz. (https://www.deutschland.de/en/news/german-government-criticises-trumps-accusations-of-zelenskiy)
Pernyataan ini-pun saya anggap sebagai hal yang wajar, karena sebelumnya Uni Eropa telah berencana menjatuhkan sanksi ke-16 terhadap Rusia berupa larangan impor aluminium primer selain pembatasan berbagai ekspor. (https://www.reuters.com/world/europe/eu-envoys-agree-ban-russian-aluminium-imports-new-sanctions-package-2025-02-19/)
Tujuannya satu: untuk memperkecil ruang gerak Rusia akibat sanksi ekonomi yang diberlakukan.
Dengan adanya kesepakatan ‘damai’ antara AS dan Rusia, sanksi yang diterapkan Uni Eropa bakalan melempem karena nggak ada endorsement dari Trump. Yang ada, Putin bakal cekikikan menanggapi ‘guyonan’ tersebut.
Lantas, apa motivasi Trump untuk menggelar kesepakatan dengan Rusia? Apakah hanya karena ingin menghemat anggaran semata? Apakah Trump cinta damai?
Pada bagian selanjutnya kita akan membahasnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)