Ada Apa Dengan Flexing?
Oleh: Ndaru Anugerah – 30072024
Apa guna media sosial?
Jawaban atas pertanyaan ini tentu bervariasi.
Ada yang menggunakannya sebagai alat untuk menjaring pertemanan, ada yang memakainya agar terlihat kekinian, namun nggak sedikit yang menggunakannya sebagai sarana untuk pamer. Entah itu kebisaan, hubungan yang harmonis dengan pasangan hingga pamer kekayaan.
Dari sini, kemudian muncul istilah flexing dengan tujuan utama pamer sesuatu. Yang paling umum, mereka memamerkan harta kekayaannya dengan berbagai tujuan kepada publik. Untuk tujuan ini mereka akan menggunakan berbagai barang branded, dari mulai perhiasan, mobil mewah, private jet hingga melakukan liburan yang spektakuler.
Secara umum, flexing adalah signaling alias upaya mengirim pesan kepada orang lain, dengan tujuan entah untuk menarik orang lain agar mau mengikutinya (fear or missing out) ataupun sekedar pamer belaka.
Coba anda bayangkan jika seorang influencer dengan follower mencapai jutaan di media sosial kemudian memakai barang branded untuk tujuan promosi, apa para groupie-nya nggak akan terhipnotis untuk memiliki barang yang sama yang telah diendorse sang influencer?
Bisa dikatakan kalo flexing punya 2 tujuan utama: pamer atau untuk tujuan marketing.
Sebenarnya, flexing bukan barang baru.
Dalam teori perilaku konsumen ada istilah conspicious consumption. Secara definitif, conspicious consumption adalah konsumsi mencolok atas barang atau jasa yang dilakukan bukan untuk memaksimalkan fungsi utilitas bagi individu melainkan untuk menarik perhatian orang lain.
Seorang yang melakukan conspicious consumption, akan membeli suatu produk bukan semata-mata untuk memenuhi kebutuhannya, melainkan untuk memamerkan kekayaannya pada orang lain. (https://en.wikipedia.org/wiki/Conspicuous_consumption)
Secara prinsip, ini bertolak belakang dengan tujuan konsumsi konvensional, dimana konsumen biasanya cenderung rasional dalam menentukan pilihan. Harga dan pendapatan tentu yang jadi rujukannya. Kalo pendapatan-nya pas-pasan, ngapain juga beli barang branded yang fungsinya sama dengan barang yang lebih murah?
Tapi conspicious consumption nggak memakai pakem ini. “Ada faktor sosial yang lebih dominan ketimbang faktor ekonomi rasional bagi kelas sosial atas, guna menunjukkan kekuasaan dan prestise sosial daripada utilitas semata,” ungkap Thorstein Veblen di tahun 1899. (https://moglen.law.columbia.edu/LCS/theoryleisureclass.pdf)
Bagi golongan mendang-mending, baju hanyalah baju. Fungsinya untuk menutup badan dan harga otomatis jadi pertimbangan.
Tapi bagi orkay, diktum ini nggak berlaku. Bagi mereka, status sosial, prestise atau kekayaan adalah hal yang penting untuk bisa mereka pertontonkan kepada publik. Tujuannya satu: untuk menunjukkan kalo mereka dari kalangan berpunya.
Dengan melakukan ini, mereka berharap mendapat kepuasan berupa gengsi dan pengakuan dari orang lain. “Kekayaan dan kemewahan seseorang mewakili kehormatan dan martabat dalam suatu masyarakat atau komunitas, sehingga kepemilikan sebuah produk akan melambangkan pencapaian dan kebanggan individu,” ungkap Veblen.
Di sisi yang lain, sebenarnya conspicious consumption bukan semata ajang pamer, tapi bisa jadi dilakukan seseorang untuk menutupi ‘kekurangannya’. Seseorang yang menggunakan barang-barang mewah bisa jadi dilakukan untuk menyembunyikan insecurity mereka.
Mereka punya anggapan bahwa dengan memakai barang-barang mewah, akan dapat mengangkat citra mereka di masyarakat dan otomatis menutupi kekurangan yang mereka punya.
Begitu modusnya.
Lantas bagaimana dengan flexing yang bertujuan untuk marketing?
Sama saja prinsipnya, dimana dengan memamerkan kekayaan kepada orang lain, orang akan gampang diperdaya untuk tujuan bisnis. Ini banyak dilakukan untuk menghipnotis orang lain untuk mau ikutan gabung dalam suatu bisnis yang menjanjikan sukses dalam waktu instan.
Investasi bodong, bahasa keren-nya.
Coba anda perhatikan para marketing bisnis ‘odong-odong’ yang kerap berkeliling dalam menjerat para calon korbannya. Adakah penampilan mereka biasa-biasa saja?
Tentu tidak.
Demi untuk menjebak calon korbannya, mereka akan mengemas penampilan diri mereka se-glowing mungkin, agar bisa dianggap sebagai orang yang sukses dalam bisnis. Setelah orang terpedaya, maka mereka tinggal buka omongan, “Mau sukses seperti saya?”
Dijamin, orang awam akan klepek-klepek setelah melihat penampilan memukau sang marketing investasi bodong tersebut. Tanpa sadar, akhirnya mereka masuk dalam jebakan betmen.
Mungkin orang lupa, bahwa nggak ada ceritanya orang kaya instan layaknya mie. Semua pasti berproses. Easy come, easy go.
Dengan adanya era digital seperti saat ini, orang dipicu untuk ‘pamer’ atas apa yang telah mereka capai atau miliki, meskipun nyatanya belum mereka capai atau tidak mereka miliki. Yang penting instan, demi mengejar status, katanya.
Akibatnya bisnis penyewaan barang-barang bermerek banyak bertebaran karena pasarnya makin meningkat dari hari ke hari.
Alasannya simpel: orang ingin pamer barang, tapi ada daya kantong tak sampai. Akhirnya jalan pintas ditempuh. Sewa barang branded pun dilakukan, demi mengejar sebuah status. (https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20211031/Pura-pura-Kaya-dengan-Menyewa/)
Satu hal yang pasti, bahwa orang kaya ‘beneran’ justru menghindari flexing.
Ada ungkapan menarik dalam bahasa Inggris:’Poverty screams, but Wealth whispers’. Kemiskinan berteriak, tetapi kekayaan berbisik. Dengan kata lain orang yang ‘berisik’ cenderung tidak kaya, karena orang kaya nggak suka pamer.
Kenapa?
Orkay justru mengejar yang namanya privasi. Mereka nggak mau orang lain tahu akan siapa diri mereka. Mereka nggak mau mencolok di mata publik. Makin banyak orang tahu siapa mereka, maka makin sulit mereka beraktivitas, karena kemana-mana akan dipantau publik.
Naik pesawatpun, kalo kelas ekonomi aja sudah nyaman, mereka nggak akan naik kelas 1 atau VIP. Barang yang mereka pilihpun bukan harga mahal yang jadi rujukannya, melainkan kenyamanan dan kualitas.
Jika mereka pakai kaos seharga puluhan ribu tapi dirasa nyaman saat memakainya, untuk apa mereka harus pakai kaos branded seharga ratusan ribu atau bahkan jutaan?
Sebaliknya, orang yang kerap melakukan flexing justru bertindak berlawanan. Yang penting pamer, agar orang lain tahu siapa dirinya.
Tanpa sadar, mereka abai aktivitas pamer yang mereka lakukan.
Alih-alih mau pamer mobil sewaan di media sosial, yang merespon justru petugas pajak yang siap mendatangi mereka atas barang mewah yang telah mereka pentontonkan kepada publik.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivitas 98)