Perang Melawan Narcos
Oleh: Ndaru Anugerah – 21032025
Kapan perang melawan narkoba pertama kali menyeruak ke publik?
Adalah Presiden AS, Richard Nixon yang mendeklarasikan frase tersebut dalam satu sesi pidato-nya saat konpres 17 Juni 1971. “Narkoba adalah musuh publik nomor 1,” ungkap sang presiden. (https://www.vera.org/news/fifty-years-ago-today-president-nixon-declared-the-war-on-drugs)
Sejak saat itu istilah WOD alias war on drugs terus bergaung.
Pertanyaan-nya: apakah program WOD bisa dikatakan sukses?
Di Filipina saja, khususnya semasa Rodrigo Duterte berkuasa, diperkirakan sekitar 12 ribu warga Filipina tewas dalam perang melawan narkoba, yang ironis-nya mayoritas menyasar masyarakat miskin kota. Kok bisa orang yang sudah nggak punya apa-apa justru jadi korban-nya. (https://www.hrw.org/news/2018/01/18/philippines-dutertes-drug-war-claims-12000-lives)
Salah sasaran dan otomatis salah kaprah. Bagimana mungkin kok malah warga misqueen yang jadi korban-nya?
Lagian, kalo memang berhasil, peredarannya pasti bisa dibendung dan jumlah transaksinya nggak spektakuler.
Apakah demikian adanya?
Berdasarkan data yang dirilis oleh PBB pada 2 dekade silam, total perdagangan narkoba mencapai USD 110 miliar untuk heroin, USD 130 miliar untuk kokain, USD 75 miliar untuk ganja dan USD 60 miliar untuk narkoba sintesis (semisal shabu dan ekstasi).
Dengan demikian kemungkinan angka perdagangan global total untuk industri narcos mencapai sekitar USD 360 miliar. Bahkan beberapa kalangan memprediksi bahwa omzet sekitar USD 400 miliar per tahun masih dianggap realistik. (https://www.unodc.org/pdf/technical_series_1998-01-01_1.pdf)
Itu data lebih dari 2 dekade silam, lho yah?
Sepertinya, hingga saat ini ‘cuan’ besar masih menjadi daya tarik utama, sehingga perdagangan narkoba nggak akan bisa diberangus, apalagi sampai ke akarnya.
Omong kosong semua itu.
Bagaimana bisnis haram ini bisa dilakukan?
Selama dekade 1980-an, pemerintah AS secara khusus CIA, terlibat kerjasama dengan pemerintahan Pakistan dalam menggalang pejuang fundamentalis yang belakangan dikenal sebagai kaum Mujahiddin yang bakal diterjunkan ke Afghanistan. Ini dikenal dengan nama Operasi Sikon. (https://web.stanford.edu/class/intnlrel193/readings/week1/Bergen.pdf)
Apa targetnya?
Membendung pengaruh komunis Soviet yang kala itu mencoba untuk ‘mencaplok’ Afghanistan. Sebagai konsekuensi dukungan, AS menghabiskan banyak uang untuk melatih dan mempersenjatai kaum Mujahiddin di Afghanistan, setelah digembleng di Pakistan. (baca disini)
Berdasarkan informasi, dana sebesar USD 630 juta pernah digelontorkan oleh CIA di tahun 1987 dalam rangkaian perang panjang melawan Komunis Soviet. Menjadi masuk akal jika pasukan Soviet gagal menaklukkan Afghanistan, karena adanya sokongan penuh dari AS. (https://archive.org/details/ghostwarssecreth00coll/page/46/mode/2up)
Uang dalam membantu pejuang Mujahiddin, asalnya darimana?
Tentu saja bukan dari dana pemerintah AS, melainkan haasil dari budidaya opium atau bunga poppy. Opium inilah yang kelak diolah menjadi heroin, narkoba dengan nilai ekonomi tinggi, yang kemudian dijual secara global, termasuk ke AS dan juga Eropa. (https://mronline.org/2021/06/29/geopolitics-profit-and-poppies-how-the-cia-turned-afghanistan-into-a-failed-narco-state/)
Setelah Soviet dipaksa angkat koper meninggalkan Afghanistan karena kalah perang, pasukan Mujahiddin yang mendirikan rezim Taliban-pun berkuasa di sana dan menjadikan opium sebagai sumber pendapatan mereka. (https://www.reuters.com/world/asia-pacific/profits-poppy-afghanistans-illegal-drug-trade-boon-taliban-2021-08-16/)
Nggak hanya di Afghanistan, sebab intervensi yang dilakukan AS di banyak negara, kerap menggunakan ‘uang panas’ hasil dari perdagangan narkoba.
Ambil contoh di kawasan Asia Tenggara, ada istilah kawasan Bulan Sabit Emas yang meliputi Myanmar, Laos dan Thailand, sebagai kawasan perdagangan narkoba.
Ini bermula saat AS menggelar perang di Vietnam di dekade 1960an. Dalam kesempatan ini, CIA memfasilitasi para bandar narkoba di ‘segitiga emas’ tersebut untuk bisa beroperasi sehingga uang panas dari hasil perdagangan narkoba sebagai komoditas utama dalam mendanai perang AS selain banyak operasi ‘hitam’ lainnya. (https://irp.fas.org/congress/1998_cr/980507-l.htm)
Di kawasan Amerika Selatan, jejak perdagangan narkoba oleh lengan deep state, juga bisa ditemukan.
Menurut Komite Kerry (yang dikenal sebagai Subkomite Terorisme, Narkotika dan Operasi Internasional) terdapat kaitan erat yang ditimbulkan kartel narkoba dan pencucian uang hasil perdagangan narkoba yang ada di Amerika Selatan dan Tengah terhadap kebijakan LN AS.
Secara ringkas, komite yang digagas oleh Senator John Kerry tersebut mau menyatakan adanya korelasi yang erat antara kartel Narcos yang beroperasi di halaman belakang Paman Sam, dengan lengan deep state (berkolaborasi dengan perwira tinggi militer AS) dalam mendanai gerakan contra yang berhaluan kanan. (https://www.salon.com/2004/10/25/contra/)
Ironis, mengingat Kongres AS telah melarang pemerintah untuk menunjang pendanaan bagi gerakan contra, nyatanya masih bisa kecolongan juga.
Lalu bagaimana operasi senyap yang berkolaborasi dengan bandar narcos digelar?
Jawaban atas pertanyaan ini dapat dilihat saat Bank of Credit and Commerce International (BCCI) kolaps. Disitu terlihat bagaimana bank BCCI digunakan oleh CIA dalam mencuci uang hasil perdagangan narkoba yang akan disalurkan ke gerakan Contras. (https://www.newsweek.com/cia-and-bcci-202850)
Belakangan terungkap juga bahwa kartel Kolombia juga kedapatan menggunakan BCCI, dalam upaya mencuci uang hasil perdagangan narkoba. (https://www.flmd.uscourts.gov/it-happened-here-tampa)
Bahkan penyelidikan yang dilakukan setelah runtuhnya Nugan Hand Bank di Australia, juga mengungkapkan keterlibatan agen CIA dalam jaringan perdagangan narkoba. (https://www.propublica.org/article/after-disappearing-from-australia-a-cia-linked-fugitive-found-in-idaho)
Dan masih banyak lagi kasus serupa lainnya.
Karena temuan ini, William Blum menyatakan bagaimana para pengedar narcos diberi ruang sebebas-bebasnya oleh CIA jika mereka setuju untuk membantu gerakan Contra. (https://www.kalamullah.com/Books/RogueState2002updeditionWilliamBlums.pdf)
Bahkan mantan petugas Badan Penegakan Narkoba AS (DEA), Calerino Castillo, yang ditempatkan di El Savador, menuturkan bagaimana pesawat Contra yang membawa kokain bisa mendarat di berbagai tempat di AS, termasuk ke pangkalan AU di Texas dan kembali dengan membawa uang tunai untuk membiayai aksi kekerasan Contra di negara-nya. (https://oig.justice.gov/sites/default/files/archive/special/9712/exsump3.htm)
Jadi apa yang bisa disimpulkan?
Sementara AS dan CIA-nya alih-alih sibuk menggelar operasi perang terhadap jaringan narcos global, nyatanya mereka malah mentoleransi dan memfasilitasi perdagangan barang haram tersebut untuk kepentingan mereka semata.
Bukankah retorik untuk dipertanyakan mengapa war on drugs nggak pernah bisa berhasil?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)