Sistemik (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah – 10032025
Pada bagian pertama tulisan, kita sudah membahas tentang bahaya sistemik sistem perbankan yang bisa terjadi karena mekanisme utang yang diberikan dengan mempertimbangkan aspek PDB semata dalam proses pemberian utang.
Kita sudah bahas juga mekanisme penggelembungan ekonomi yang memicu krisis akibat adanya bubble.
Saat kekacauan sistemik terjadi maka negara dipaksa memberikan bailout pada perbankan swasta yang terkena dampak sistemik, jika mau utangan-nya turun dan pemerintah nggak mau dicap sebagai rezim sosialis/komunis yang anti utang. (baca disini)
Berapa negara harus membayar bailout pada bank-bank komersial swasta?
Kasus di Irlandia, misalnya. Negara ini diharuskan membayar sekitar €6-10 miliar per tahun sebagai bunga atas utang nasional yang berjumlah €235 miliar, dimana sekitar €85 miliar-nya adalah bailout demi menyelamatkan bank-bank komersial swasta di Irlandia pada 2008 silam. (https://www.irishtimes.com/business/financial-services/ireland-pays-16-5m-a-day-in-interest-on-national-debt-1.3434158)
Dengan mekanisme ini, maka utang negara nggak akan pernah bisa dilunasi yang menyebabkan terciptanya belenggu perbudakan utang yang nggak akan pernah berakhir. Dan sistem ini juga berlaku di banyak negara di seluruh dunia.
Jika disimpulkan, maka tercipta siklus boom-bust-bailout.
Pertama-tama, bank swasta akan mencetak uang sebagai utang dengan bunga rendah. Dengan suku bunga rendah dan kredit yang melimpah akan memicu gelembung ekonomi. Ini akan mendorong banyak pihak untuk berinvestasi pada berbagai sektor, semisal real-estate, yang menyebabkan harga-nya meningkat.
Menanggapi hal ini, pemerintah hanya tutup mata, mengingat makin banyak real estate terjual, pajak bagi negara otomatis bertambah dan PDB juga meningkat. Walaupun di sisi yang lain, ini akan meningkatkan risiko karena gelembung utang yang terus meningkat.
Saat gelembung kredit perbankan menjadi ‘terlalu’ besar, maka bank sentral akan bertindak untuk mengempiskan-nya. Akibatnya suku bunga dinaikkan, pinjaman dikurangi dan jumlah uang yang beredar otomatis menyusut.
Akibatnya, debitur akan melakukan penyitaan aset dan menyerahkan aset tersebut ke pihak bank. Dengan banyaknya aset yang disita, maka terjadi penumpukan yang mengakibatkan harga rumah-nya menjadi turun.
Konsekuensi logisnya, terjadi proses gagal bayar utang secara massal dan bank-pun dipaksa bangkrut karena nggak bisa menanggung beban gagal kredit. Dan ini akan membawa dampak sistemik pada perekonomian nasional.
Untuk menyelamatkan negara, maka langkah yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan bailout kepada bank-bank yang collapse tadi agar kerusakan sistemik bisa dihindari.
Selain pemberian bailout, masih ada langkah-langkah lain yang harus diambil oleh pemerintah seperti penghematan dan pemotongan belanja negara serta kenaikan pajak pada rakyat jelantah. Ini semua dilakukan untuk mendanai dana talangan alias bailouts.
Apa imbasnya?
Berkurangnya pendapatan rumah tangga yang seharusnya bisa dibelanjakan dan ini mengarah ke jurang resesi.
Selain itu, karena kurangnya dana yang bisa dihimpun oleh pemerintah dalam menanggulangi bailouts, acap kali pemerintah mencari dana tambahan dari lembaga pemberi kreditur internasional semisal IMF.
Dan jika ini terjadi, maka sederet aturan main IMF harus mau diteken oleh pemerintah dari mulai penghematan, penghapusan subsidi hingga privatisasi aset negara.
Yang tak kalah penting adalah sumber daya alam yang ada di negara itu dapat dijadikan agunan pinjaman kepada sang pemberi utang.
Jika ini terjadi, siapa yang diuntungkan?
Tentu saja sang pemberi kredit.
Apakah siklus ini bisa diputus?
Bisa-bisa saja.
“Jika pasokan uang diciptakan oleh pemerintah dan tidak dipinjam dari bank swasta yang menciptakannya, maka pajak penghasilan yang diberlakukan pemerintah pada rakyat-nya otomatis nggak diperlukan,” ungkap Dr. Ellen Brown. (https://archive.org/details/Web_of_Debt-The_Shocking_Truth_about_our_Money_System)
Disitulah masalah berawal.
Masalahnya, apa ada negara yang berani menentang diktum penciptaan uang oleh bank swasta?
Boleh dikatakan nggak ada, karena mayoritas pemerintahan yang ada di dunia, terpilih melalui proses demokrasi yang bernama pemilu. Lewat pemilu, siapapun yang kelak terpilih, akan tetap menjalankan diktum ‘peminjaman uang’ pada perbankan swasta dan tetap menjalankan pajak bagi segenap warga negara-nya.
“Pemilu adalah ilusi demokrasi,” ungkap seorang filsuf. Jadi jangan pernah mengharapkan perubahan yang bersifat fundamental bagi negara, lewat ‘revolusi’ kotak suara.
That’s impossible, right?
Sebagai penutup, saya ambilkan kutipan dari Henry Makow.
“Para bankir menguasai dunia melalui utang, dimana uang tersebut mereka ciptakan dari ketiadaan. Mereka membutuhkan pemerintahan dunia untuk memastikan tidak ada negara yang gagal bayar atau mencoba menggulingkan mereka.”
Makow menambahkan, “Selama para bankir swasta, bukan pemerintah, yang menciptakan uang, umat manusia akan hancur. Dengan demkian para bankir tersebut telah membeli segalanya dari semua orang.” (https://archive.org/details/illuminati-the-cult-that-hijacked-the-world/mode/2up)
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)