Cancel Culture


507

Cancel Culture

Oleh: Ndaru Anugerah – 18122024

Belakangan ini, banyak sudah pejabat publik yang terkena sanksi publik berupa hujatan, dikucikan, dipecat, diboikot hingga ditelanjangi kehidupan pribadi-nya (yang seharusnya tidak perlu diekspos). Ini terjadi setelah seseorang melakukan tindakan atau berbicara yang dianggap tidak pantas oleh publik.

Dan media sosial sangat berperan dalam upaya penghakiman publik ini, dengan cara mengakumulasi proses kemarahan. Akibatnya proses pengucilan ini dapat meluas ke ranah kehidupan sosial ataupun profesional.

Contoh yang paling gamblang adalah bagaimana tingkah seorang anak pejabat yang melakukan perundungan pada teman-nya dan sialnya berhasil dimuat pada platform media sosial.

Nggak pakai lama, publik langsung menghakimi kelakuan sang anak dengan menguliti kehidupan bukan saja dirinya, tapi juga orang tua-nya.

Akhirnya sang ayah (yang ternyata punya kelakuan tercela seperti anaknya) jadi sasaran kemarahan publik yang berujung pada pemecatan dari pekerjaan dan pemenjaraan dirinya akibat melakukan aksi korupsi.

Alih-alih anaknya yang berbuat salah, tapi masalah jadi melebar kemana-mana sampai sang ayah juga yang kena getah-nya. (https://www.suara.com/news/2024/03/14/154815/rafael-alun-ayah-mario-dandy-tetap-dihukum-14-tahun-penjara)

Akibatnya, baik sang anak yang melakukan perundungan maupun orang tua-nya, berada pada posisi dimana status mereka telah dibatalkan oleh publik.

Selamat datang di era cancel culture, tempat dimana semua kesalahan seseorang (atau yang berafiliasi dengan dirinya) bisa menjadi sasaran penghakiman publik dalam waktu instant.

Istilah cancel culture sendiri mulai ada era digital, tepatnya di tahun 2010 silam. Beberapa orang justru menyamakan cancel culture dengan call-out culture yang tentu saja kedua-nya berkonotasi negatif. (https://dictionary.cambridge.org/us/dictionary/english/call-out-culture)

Apa esensi cancel culture?

Secara harafiah, budaya membatalkan adalah cara yang dipakai siapapun di dunia maya dengan tujuan meminta pertanggungjawaban pihak yang ditenggarai telah melakukan kesalahan atau apapun bentuk khilaf-nya.

Jadi harapannya akan ada semacam keadilan yang didapat jika pihak yang bersalah meminta maaf kepada publik atas kesalahan yang diperbuatnya.

Itu memang konsep ideal-nya.

Masalahnya, apakah konsep itu berjalan sesuai harapan?

Alih-alih meminta pertanggungjawaban publik dari si pelaku, belakangan cancel culture justru punya niatan membatasi freedom of speech and act seseorang dalam kehidupan sehari-hari. Sudah melenceng dari spirit awal.

Bagaimana kita tahu akan hal ini?

Sangat mudah.

Anda pasti tahu bahwa orang-orang keturunan Afrika (yang tinggal dimana-pun) pasti punya kecenderungan berambut gimbal.

Jadi kalo tetiba ada orang ‘bule’ atau orang Tionghoa tampil beda dengan rambut gimbal-nya, sudah pasti orang tersebut bakal di-cancel sama netizen, dengan alasan pelecehan budaya.

“Lo gak punya rambut gimbal, ngapain pengen punya rambut gimbal? Lo pasti punya niat melecehkan orang Afrika, kan? Lo nggak punya empati, yah?” begitu kurleb-nya.

Padahal niatannya bukan untuk melecehkan orang Afrika, tapi cuma untuk tampil beda aja. Kenapa larinya jadi tudingan pelecehan ras?

Ini jelas lebay, dan merampas kekebasan seseorang untuk berekspresi.

Terlepas dari diterima atau tidak, budaya membatalkan sudah akrab dengan kehidupan kita sehari-hari. Dan jika seorang, katakanlah public figure terkenal sekalipun, harus mengontrol perilaku-nya kalo nggak mau terkena cancel culture yang diberikan netizen.

Kita bisa melihat bagaimana seorang sekelas Atta Halilintar yang dipaksa kehilangan sekitar 2 juta pengikutnya di TikTok akibat melakukan suatu ‘kesalahan’ yang dirasa nggak perlu.

Kasus ini bermula saat Atta membuat konten lucu-lucuan ‘Jangan ya dek’ yang kemudian menjadi viral.

Selidik punya selidik, Atta membuat konten tersebut diduga untuk menyindir Fuji yang sudah berpacaran lama dengan Thariq Halilintar (adiknya) namun nggak kunjung dikenalkan ke pihak keluarganya. Dan ujung-ujungnya, hubungan mereka terpaksa kandas di tengah jalan.

Akibat sindiran yang dibuat Atta pada Fuji, ditambah seruan Nikmir untuk unfollow akun media sosial miliknya, akhirnya Atta terpaksa kehilangan sekitar 2 juta follower-nya di Tiktok. (https://www.suara.com/tekno/2024/08/10/122716/diduga-sindir-fuji-atta-halilintar-banjir-hujatan-hingga-kehilangan-jutaan-followers-dalam-semalam)

Seiring dengan makin maraknya budaya pembatalan, beberapa produk yang ditenggarai berafiliasi dengan Israel juga mengalami nasib serupa. Bahkan pihak yang bersimpati dengan perjuangan Palestina kemudian merilis portal BDS Movement.

Melalui portal tersebut, diharapkan orang ikutan aksi boikot yang disuarakan terhadap produk-produk yang ditenggarai mendukung gerakan Zionis global. (https://bdsmovement.net/get-involved/what-to-boycott)

Apakah ini efektif?

Kalo nggak efektif, ngapain sekelas Starbucks harus kasih klarifikasi ke publik bahwa perusahaan mereka nggak mendukung pendanaan bagi gerakan Zionis global? (https://www.indiatimes.com/news/world/starbucks-under-fire-understanding-the-global-boycott-movement-639927.html)

Belakangan, seruan boikot juga meluas pada artis-artis yang diduga menjadi corong gerakan Zionis dengan tidak berempati atas tindakan represif tentara Israel pada warga Palestina di jalur Gaza.

Walhasil, satu per satu artis dunia terkena imbas gerakan Blockout ini. Dari mulai Adam Sandler, Alicia Keys, Beyonce, hingga Kim Kardashian. Semua jadi korban #Blockout2024 yang nggak lain adalah bentuk lain dari cancel culture. (https://www.kapanlagi.com/showbiz/hollywood/bungkam-soal-palestina-ini-deretan-artis-dunia-yang-jadi-target-blockout-2024-266d24.html?page=9)

Sebagai penutup, apakah budaya membatalkan bermanfaat atau nggak?

Saya nggak mau kasih jawaban atas pertanyaan itu.

Satu yang pasti, bahwa dengan adanya budaya membatalkan, setidaknya kita dibuat aware atas segala tindakan yang kita ambil pada media sosial. Alih-alih mau eksis, yang ada anda malah di cancel sama teman ataupun para follower gegara diduga membuat kesalahan.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!