Narasi Sesat
Oleh: Ndaru Anugerah – 01112024
Apa reaksi publik jika mendengar frase karbon dioksida (CO2)?
Beragam tentunya. Yang pasti semuanya berkonotasi negatif. Dari mulai produk limbah pernapasan yang berbahaya, gas rumah kaca hingga biang kerok penyebab gangguan terhadap iklim di bumi.
Dari mana anda mendapatkan informasi semua itu?
Bisa dari media, bisa dari pembelajaran di sekolah. Karena memang narasi itu terus didengungkan dengan keras sehingga karbon dioksida sebagai gas berbahaya, nggak bisa dihilangkan dari ingatan kita.
Di sisi yang lain, karbon dioksida sebenarnya adalah gas yang dibutuhkan untuk kehidupan. Gas kehidupan, mengutip ungkapan yang dilontarkan William Happer selaku Profesor Emeritus fisika di Universitas Princeton, yang juga pernah menjadi penasihat ilmiah pemerintahan Bush dan Trump.
Berbicara pada Summit Old Guard Meeting di New Jersey pada Oktober 2023 silam, Prof. Happer mengatakan, “Tingkat CO2 yang lebih tinggi akan membuat planet ini lebih hijau sehingga cocok untuk kehidupan tanaman.”
Happer menambahkan, “Semakin tinggi kadar CO2, semakin baik tanaman dan pohon tubuh. CO2 juga mengurangi kebutuhan air bagi tanaman, sehingga mengurangi risiko yang terkait dengan kekeringan.” (https://youtu.be/tXJ7UZjFDHU)
Jadi, CO2 bukanlah gas yang membahayakan bumi alias polutan, tetapi justru gas yang menunjang proses kehidupan yang ada di bumi.
Ini justru berbanding terbalik dengan narasi sesat yang banyak berseliweran dimana-mana. Dikatakan bahwa karbon dioksida sebagai salah satu dari gas rumah kaca yang paling berbahaya yang menyebabkan pemanasan global. (https://news.climate.columbia.edu/2021/02/25/carbon-dioxide-cause-global-warming/)
Nyatanya kan nggak demikian. “Peningkatan CO2 sebesar 100% dari 400 ppm menjadi 800 ppm akan menurunkan radiasi ke luar angkasa hanya sebesar 1,1% yang mengakibatkan peningkatan suhu bumi rata-rata sebesar 0,7 derajat Celcius,” ungkap Prof. Happer.
Dengan demikian kalo cuma 0,7 derajat Celcius berarti nggak ada status darurat iklim, karena apapun yang dilakukan untuk mengurangi emisi CO2, nggak akan berdampak pada suhu global.
“Kita masih jauh dari menggandakan CO2 saat ini. Butuh waktu lama untuk mencapai angka 1%. Dengan kata lain, CO2 adalah gas rumah kaca yang sangat buruk dan tidak efisien,” ungkap Prof. Happer.
Jika memang CO2 bukanlah gas yang membahayakan, lalu kenapa ada kekhawatiran atas meningkatnya CO2?
Mungkin masalahnya bukan pada CO2-nya, tapi pada siapa yang ditenggarai sebagai kontributor gas tersebut. Ini yang sebenarnya yang jadi sasaran tembak-nya. Bukankah jika manusia tidak menghasilkan CO2 melalui proses pernapasan, sama saja menyuruh manusia itu untuk ‘mati’?
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)