Hanya Permainan Kata Saja (*Bagian 1)


533

Hanya Permainan Kata Saja (*Bagian 1)

Oleh: Ndaru Anugerah – 03092024

Rekayasa genetika. Mungkin frase itu yang belakangan kerap kita dengar di jagat dunia maya.

Nggak percaya?

Beberapa hari yang lalu, peneliti di Universitas California Davis berupaya untuk dapat merekayasa genetika mikrobioma sapi dalam prosesnya, sehingga diklaim dapat menghilangkan emisi metana. (https://www.washingtonpost.com/climate-solutions/interactive/2024/cows-methane-emissions-gene-editing-microbiome/)

Gimana caranya?

Dengan cara memodifikasi usus sapi yang ditenggarai memproduksi gas metana.

Jika usus sapi ini bisa rekayasa sedemikian hingga, diharapkan nggak lagi mengeluarkan gas metana yang ditenggarai berkontribusi bagi 30% proses pemanasan global. (https://www.iea.org/reports/global-methane-tracker-2022/methane-and-climate-change?itid=lk_inline_enhanced-template)

Yang kedua, terjadi juga dalam waktu yang tidak lama. Kali ini pohon yang direkayasa genetikanya untuk menghasilkan kertas yang ramah lingkungan.

Jadi, peneliti dari North Carolina State University berupaya merekayasa genetika pohon agar kandungngan lignin-nya dapat serendah mungkin dengan teknologi CRISPR. Lignin itu yang buat kayu pohon jadi kaku, sehingga sulit untuk dibuat kertas. Karenanya harus dihilangkan. (https://illuminem.com/illuminemvoices/the-future-of-paper-could-come-from-geneedited-trees)

Kisah yang sama juga dapat kita temui di Jepang, dimana pemerintah telah memberi restu bagi para peneliti untuk merekayasa tomat ‘super’ yang diklaim dapat menurunkan tekanan darah seseorang. (https://asia.nikkei.com/Business/Science/Japan-approves-gene-edited-super-tomato.-But-will-anyone-eat-it)

Di AS, pada musim gugur tahun ini, rencananya bakal dijual ke pasaran produk daun salad hijau hasil rekayasa genetika, yang diproduksi oleh Bayer dengan teknologi CRISPR. (https://www.wired.com/story/wired30-crispr-edited-salad-greens/)

Mundur ke belakang di tahun 2023 silam, kentang hasil rekayasa genetika juga diperkenalkan di Amerika Latin, dengan menggunakan teknologi CRISPR.

Apa bedanya dengan kentang yang banyak ditemui di pasaran?

Kentang jenis baru ini diklaim dapat menghilangkan warna gelap agar tetap terlihat segar. Ini bisa terjadi karena gen yang menyebabkan warna gelap tersebut telah ‘dihilangkan. (https://agrobio.org/noticias/papa-editada-con-crispr-hecha-en-latinoamerica)

Bukan hanya makanan, karena kapas yang dipakai pada industri kecantikan, juga telah direkayasa secara genetika. Namanya Kapas BT, yang diklaim tahan terhadap serangan serangga di Ethiopia. (https://newbusinessethiopia.com/technology/genetically-engineered-crops-development-taking-roots-in-ethiopia/)

Dan masih banyak artikel lainnya yang bertebaran di dunia maya, yang mengulas tentang produk hasil rekayasa genetika. Anda bisa cari sendiri pada mesin pencari.

Sebenarnya ini bukan barang baru, karena nyatanya sejak 2022 silam, produk makanan hasil rekayasa genetika juga telah dijual bebas ke pasaran.

Dengan slogan bahwa harganya lebih murah, kandungan gizinya lebih lengkap dan dapat mencegah pandemi di masa depan, siapa juga yang nggak terpikat untuk membeli produk tersebut? (https://www.theguardian.com/environment/2021/sep/18/could-gene-editing-chickens-prevent-future-pandemics)

Jadi nggak salah kalo ada narasi berkembang, bahwa saatnya kini kita harus beralih untuk menggunakan produk-produk hasil rekayasa genetika. (https://www.japantimes.co.jp/commentary/2024/08/18/japan/gene-edited-food/)

Pertanyaannya: apakah produk hasil penyuntingan gen berbeda dengan produk hasil Genetically Modified Organism (GMO)?

Jika anda cari dua istilah di atas pada media mainstream, maka anda nggak akan menemukan perbedaannya. Keduanya sering digunakan secara bergantian. Term penyuntingan gen sama saja dengan GMO. Titik.

Memangnya demikian?

Kita coba cari datanya agar lebih akurat.

Pemerintah Inggris melalui DEFRA (Department for Environment Food and Rural Affairs) mengeluarkan dokumen resminya di tahun 2021 silam. “Penyuntingan gen tidak boleh disamakan dengan modifikasi genetika (GM),” begitu kurleb-nya.

Ditambahkan, “Organisme yang dimodifikasi secara genetika adalah organisme yang DNA-nya berasal dari spesies yang lain yang telah dimasukkan ke dalam spesies target.”

“Organisme yang disunting gen-nya pada umumnya tidak mengandung DNA spesies lain, tetapi mengandung perubahan yang dapat dilakukan lebih lambat dengan menggunakan metode pemuliaan tradisional.” (https://consult.defra.gov.uk/agri-food-chain-directorate/the-regulation-of-genetic-technologies/supporting_documents/Gene%20Editing%20Explainer.pdf)

Apa yang bisa disimpulkan?

Proses pengeditan gen nggak sama dengan modifikasi genetika.

Kalo pengeditan gen nggak mengandung DNA dari species lain, sementara modifikasi genetika memiliki DNA yang berasal dari spesies lain yang dimasukkan ke species target.

Disinilah perbedaannya.

Dan menurut UU di beberapa negara, produk modifikasi genetika, harus diberi label GMO (Genetically Modified Organism) yang membedakannya dengan produk hasil penyuntingan gen. (https://www.statnews.com/2020/02/19/why-we-need-mandatory-labeling-of-gmo-products/)

Ini diperlukan agar masyarakat tahu tentang produk yang akan dibelinya, apakah GMO atau bukan.

Tapi skema ini jelas merugikan industri besar, karena produk GMO yang mereka jual, jadi nggak laku di pasaran. Ini bisa terjadi karena masyarakat mulai kritis dalam menanggapi suatu isu, terutama menyangkut bahan pangan yang akan mereka konsumsi.

Lalu bagaimana cara menyiasatinya?

Kita lanjut pada bagian kedua nanti.

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!