Drama Pilkada (*Bagian 1)
Oleh: Ndaru Anugerah – 28082024
“Bang, kenapa nggak bahas situasi nasional menjelang pilkada serentak?” tanya seorang netizen.
Jujur, agak malas bagi saya untuk membahas sitnas saat ini, karena nggak menarik untuk disimak.
Apa sebab?
Upaya cawe-cawe pak lurah yang sudah diluar nalar.
Sayang anak sih nggak ada yang salah. Hanya saja, kalo itu sudah menabrak norma yang sudah berlaku di masyarakat, itu namanya kebablasan. Sebagai negarawan harusnya pak lurah paham ini bukan malah pasang muka tembok.
Tapi apa lacur, semua dilabrak demi cintanya pada sang anak.
Sadar nggak sadar, tingkahnya tersebut membangun image di masyarakat bahwa dirinya yang digadang-gadang sebagai raja Jawa, kini tengah membangun dinasti kekuasaannya. “Paling nggak, setelah saya lengser dari jabatan, masih ada anak saya yang melanjutkan estafet kepemimpinan,” begitu kurleb-nya.
Dan puncaknya saat pak lurah menggunakan mesin Doraemon dalam gelaran pilpres 2024 silam. Jadi, siapapun lawannya, otomatis keok oleh mesin tersebut, karena memang bisa di-setting sedari awal untuk kemenangan sang Putra Mahkota.
Nggak aneh jika prediksi yang saya buat (dan banyak analis lainnya) mleset jauh, bukan karena pak lurah menggunakan bansos. Bukan juga karena pengerahan aparat di lapangan. Tapi karena hadirnya mesin Doraemon tersebut.
Mau sebagus apapun analisanya, bakalan percuma, karena hasilnya pasti diluar nalar. (baca disini)
Jujur, sejak saat itu saya malas ngulas langkah culas lurah pinokio yang kerap playing victim tersebut. Jadi nggak asik karena langkah yang diambilnya terbilang norak bin kampungan.
Tapi oke lah.
Saya mau bahas situasi terkini seputar pilkada. Walaupun, berulang kali saya bilang, pada gelaran pilpres ataupun pilkada: Agenda siapa yang sebenarnya dimajukan para paslon? Apakah itu pro ke rakyat? Ataukah pilkada hanya ajang carai legitimasi semata? (baca disini dan disini)
Bermula saat pak lurah tak kuasa membendung birahi untuk mewariskan estafet kepemimpinannya kepada anak-nya tersayang, Kang Pisang. Masak kakak-nya si Beler sudah dapat jatah, anak bungsunya nggak dapat jatah juga?
Walhasil, berbagai manuver dibuat agar anak bungsu pak lurah bisa ikutan nyalon di pilkada.
Ternyata kenyataan tak sesuai harapan.
Tetiba MK mengabulkan gugatan Partai Buruh dan Partai Gelora menyangkut electoral threshold yang harus dipenuhi parpol untuk bisa mengusung paslon. Jika dulu koalisi parpol harus punya kursi di DPRD setidaknya 20%, maka sekarang syarat itu nggak perlu lagi. (https://www.tvonenews.com/berita/nasional/238119-mk-sahkan-gugatan-partai-buruh-dan-partai-gelora-meski-tak-punya-kursi-di-dprd-parpol-bisa-usung-cagub-di-pilkada-2024?page=4)
Singkatnya, ini membuka kran bagi parpol penantang koalisi KIM-plus, untuk bisa mengusung calon-nya sendiri.
Nggak hanya itu, MK juga mengatur batas usia seorang calon jika hendak mengajukan diri dalam pilkada. Untuk setingkat gubernur atau wakil gubernur, aturan mainnya harus minimal 30 tahun saat hari pendaftaran, dan bukan saat hari pelantikan. (https://www.hukumonline.com/pusatdata/detail/lt578e1c1341856/undang-undang-nomor-10-tahun-2016/related_regulation/)
Dengan aturan main yang baru ini, maka peluang Kang Pisang untuk bertarung di pilkada otomatis gugur. Usianya yang baru menginjak 30 tahun di Desember mendatang, jelas masalah serius untuk bisa mendaftar.
Kecuali dia mau dikasih posisi sebagai walikota atau bupati.
Kalo posisi setingkat walikota tersebut dikasih kepada si Bungsu, maka dia akan protes pada pak lurah karena dinilai nggak adil. “Masa iya kakak dikasih jabatan wapres, kok saya dikasih jabatan walikota?” begitu kurleb-nya. Jelas njomplang.
Padahal Kang Pisang sudah ancang-ancang untuk bisa berkontestasi digelaran pilkada.
Kalo anda iseng jalan-jalan di seputaran Jakarta akhir-akhir ini, maka anda akan temukan banyak spanduk yang isinya mengusung Kang Pisang untuk ikutan pilkada Jakarta.
Jangan anda pikir itu spanduk relawan, karena pada prinsip-nya nggak ada makan siang yang gratis. Relawan mana yang mau keluar uang untuk mengusung calon yang kencing aja masih belum lurus? Itu terlalu naif.
Sudah pasti itu melibatkan event organizer untuk menggiring opini publik Jakarta agar jika Kang Pisang nanti maju sebagai calon gubernur, kelak warga akan memaklumi-nya.
“Kan spanduknya bertebaran tuh dimana-mana. Pasti pendukungnya juga banyak,” begitu kira-kira narasinya.
Padahal itu kerjaan event organizer. Bukan kerjaan relawan apalagi kerjaan warga Jakarta. Jelas salah kaprah.
Singkatnya, untuk mengatasi masalah ini, maka manuver selanjutnya harus diambil pak lurah.
Caranya?
Dengan mengajukan RUU Pilkada pada DPR. Untuk inilah, sasus beredar bahwa posisi Menkumham terpaksa di-reshuffle dari jabatannhya karena dinilai bakal menolak RUU pilkada yang telah direncanakan pak lurah. (https://news.detik.com/berita/d-7498575/kecurigaan-pdip-usai-yasonna-laoly-kena-reshuffle-kabinet)
Dan proses ini terjadi secepat kilat, demi membuka jalan bagi si Bungsu. “Jika saja syarat usia pada gelaran pilpres bisa akalin, apa susahnya melakukan langkah serupa pada gelaran pilkada?” begitu kurleb-nya. (https://rri.co.id/nasional/918280/baleg-bentuk-panja-ruu-pilkada-terkait-putusan-mk)
Sekali lagi, Dewi Fortuna belum berpihak pada pak lurah.
Nggak dinyana, ternyata publik mengendus skenario busuk-nya dan berencana menolak-nya. Garuda biru sebagai tanda darurat bernegara (yang dulu pernah ada), segera diaktivasi kembali. (https://www.liputan6.com/lifestyle/read/5680356/lambang-garuda-biru-peringatan-darurat-yang-sedang-viral-diyakini-berasal-dari-video-lama-di-youtube)
Dan ajaibnya, mahasiswa dan elemen masyarakat langsung rame-rame turun ke jalan untuk menyuarakan penolakan terhadap upaya pak lurah untuk cawe-cawe terhadap putusan MK. (https://nasional.kompas.com/read/2024/08/22/14485451/massa-demo-tolak-ruu-pilkada-jebol-pagar-gedung-dpr)
Ajaib.
Kok bisa ribuan elemen masyarakat bisa langsung kompakan turun ke jalan menanggapi seruan garuda biru? Apakah ini kebetulan atau justru sudah direncanakan?
Kejanggalan kedua, kenapa juga baru kali ini MK mengeluarkan putusan yang justru menentang skenario pak lurah dalam menggolkan rencananya mengusung si Bungsu? Apa ini kejadian lepas yang tiba-tiba jatuh dari langit tanpa ada penyebabnya?
Dan jika dirangkai kedua kejadian tersebut: apakah putusan MK yang menyulut kemarahan masyarakat Planet Namek adalah peristiwa saling lepas atau justru saling berkaitan?
Jika memang kebetulan, kenapa diputuskan bersamaan dengan momen pendaftaran calon pada pilkada? Bukankah gugatan itu dialamatkan ke MK pada bulan Mei silam?
Atas semua kejanggalan ini, kita coba bahas pada bagian kedua nanti.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)