Komputer Hidup (*Bagian 2)
Oleh: Ndaru Anugerah – 01082024
Pada bagian pertama tulisan kita telah membahas tentang neuroplatform yang terdiri atas beberapa organoid yang berasal dari bagian otak manusia yang ditumbuhkan di dalam laboratorium.
Secara teknis, organoid ini dilatih untuk bekerja sesuai kebutuhan sang ‘tuan’. (baca disini)
Berdasarkan ini, maka peneliti merancang algoritma optimal agar dapat mengendalikan perilaku organoid tersebut. Cara yang paling gampang: menerapkan sistem punishment and reward sebagai tahap pembiasaan.
Teknisnya, jika organoid berperilaku positif, maka organoid tersebut bakal menerima dopamin sebagai imbalannya. Dan jika organoid berperilaku menyimpang alias tidak sesuai dengan yang diharapkan, maka organoid tersebut akan menerima punishment berupa sengatan listrik.
Dengan mekanisme ini, maka perilaku organoid bisa diatur sesuai keinginan.
Komputer hidup yang menggunakan organoid sebagai pengganti AI ini mulai banyak mendapatkan respon yang positif dari banyak kalangan. Salah satu alasannya bersifat ramah lingkungan karena hemat energi.
Sebagai gambaran, jika silikon yang digunakan pada perangkat AI membutuhkan daya 10 megawatt, maka komputer hidup ini hanya mengonsumsi daya sekitar 20 watt saja.
Luar biasa hematnya, bukan?
Bisa dikatakan bioprosesor menggunakan sangat sedikit energi yang setara dengan energi yang digunakan pada bola lampu di rumah. Dengan adanya efisiensi energi ini, maka tingkat komputasinya menjadi sangat cepat dan gampang diakses yang berimbas pada pengurangan jejak karbon secara signifikan.
Apakah neuroplatform ini nggak punya kekurangan?
Tentu ada. Salah satunya adalah masa pemakaiannya.
Jika chip silikon yang digunakan pada prosesor dapat digunakan selama 10 tahun pemakaian, maka umur organoid hanya bertahan maksimal 100 hari saja. Sangat singkat. (https://interestingengineering.com/innovation/worlds-first-living-computer-switzerland)
Final Spark mengklaim bahwa durasi 100 hari sebagai hasil yang optimal. Awalnya organoid hanya bisa dipakai beberapa jam saja. Namun setelah menerapkan berbagai perbaikan dan pengaturan mikrofluida pada biokomputer tersebut, usianya bisa mencapai 100 hari seperti saat ini. (https://www.frontiersin.org/journals/artificial-intelligence/articles/10.3389/frai.2024.1376042/full)
Akan tetapi ini tentu saja menjadi masalah. Nggak praktis untuk digunakan.
Masa iya sedikit-dikit harus ganti organoid karena kinerjanya menurun?
Itu baru satu sisi.
Tahukah anda bahwa organoid pada esensinya adalah bagian dari otak manusia yang ditumbuhkan di laboratorium dengan metode stem cell. Sebagai konsekuensinya, organoid sejatinya adalah makhluk hidup karena berasal dari organ tubuh manusia.
Menarik apa yang dikatakan Michael Snyder sebagai peneliti independen atas eksperimen yang dilakukan Final Spark. Dengan gamblang Snyder mengatakan bahwa sebenarnya organoid adalah otak mini yang diperbudak.
“Jika otak mini yang diperbudak ini melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, mereka akan diberi banyak kesenangan. Jika otak mini yang diperbudak ini tidak melakukan apa yang seharusnya mereka lakukan, mereka akan diganjar aktivitas listrik yang tidak beraturan,” ungkap Snyder.
Selanjutnya Snyder menambahkan bahwa otak manusia mini ini akan terus disiksa, sampai mereka belajar untuk patuh atas instruksi yang diberikan ke mereka.
Dengan kata lain, Snyder mau bilang bahwa sesungguhnya proyek organoid Final Spark, nggak lain adalah proyek uji coba pada otak manusia, dengan bungkus yang elegan komputer hidup wetware.
Sebenarnya, ide komputer hidup bukan pertama kali dikembangkan Final Spark. Di tahun 1999 silam, Prof. Bill Ditto dari Institut Teknologi Georgia telah mengembangkan kalkulator hidup yang diberinama leech-ulator, yang menggunakan neuron lintah untuk melakukan perhitungan sederhana.
Apa alasannya menggunakan neuron lintah?
Karena Prof. Ditto punya anggapan bahwa komputer biasa harus diberitahu dengan tepat apa yang harus dilakukan, sementara bioprosesor dapat mengerjakan tanpa perintah yang spesifik. (https://www.emory.edu/EMORY_REPORT/erarchive/1999/September/erseptember.27/9_27_99leech.html)
Dengan demikian, ide komputer hidup ini punya keunggulan tersendiri karena dibekali dengan kecerdasan alami dan organik serta kemampuan memecahkan masalah.
Bukan itu saja, karena bioprosesor tersebut juga dapat memperoleh jawaban yang benar dari entry data yang tidak lengkap atau salah sekalipun.
Itu lebih dari 2 dekade yang lalu, lho yah.
Masuk akal jika saat ini muncul komputer yang terbuat dari sel-sel otak manusia yang dapat melakukan aktivitas pengenalan suara. Bagaimana dengan perkembangan ke depannya? (https://futurism.com/neoscope/computer-human-brain-cells-perform-voice-recognition)
Bayangkan jika bioprosesor ini diletakkan pada tubuh robot seukuran manusia? Apa kira-kira yang akan terjadi? Makhluk apa yang tercipta?
Ini nggak mengada-ada, karena ilmuwan dari Universitas Tokyo telah berhasil mengembangkan wajah robot yang dilapisi kulit manusia hasil laboratorium yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri serta dapat meniru ekspresi manusia. (https://www.reuters.com/science/say-cheese-japanese-scientists-make-robot-face-smile-with-living-skin-2024-07-18/)
Anda pernah dengar istilah ‘konvergensi biodigital’ yang diluncurkan pada 2020 silam, yang secara prinsip akan menggambungkan biologi dan teknologi digital dalam satu wadah? (https://horizons.gc.ca/en/2020/02/11/exploring-biodigital-convergence/)
Bukankah ide biokomputer dan robot yang dilapisi kulit manusia, jika disatukan akan mengimplementasi konsep konvergensi biodigital tersebut?
Jadi ide komputer hidup bukanlah semata-mata rencana untuk menggantikan AI yang ditenggarai boros energi, tapi memang ada rencana yang lebih jauh lagi untuk mengadopsi ide konvergensi biodigital.
Menarik untuk mengikuti perkembangan selanjutnya.
Salam Demokrasi!!
(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)