Pelajari Pola Asuh


511

Pelajari Pola Asuh

Oleh: Ndaru Anugerah – 10072024

Seorang teman bercerita tentang anaknya yang terpaksa ‘tinggal kelas’ pada sekolah tempat dia belajar. Sebenarnya hal itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan, mengingat dirinya yang sibuk cari nafkah, sang istri juga melakukan hal yang sama. Jadi anak kurang mendapat perhatian.

Akibatnya anak nggak mendapatkan porsi asuhan dari orang tua, meskipun secara materiil semua tercukupi. Yang terjadi kemudian, sang anak bebas berbuat apa saja, tanpa adanya kontrol dari orang tua. “Orang tua yang sibuk, bagaimana cara mengawasi anaknya?”

Akhir cerita hanyalah penyesalan, yang seharusnya nggak perlu terjadi karena sedari awal proses itu sebenarnya bisa diantisipasi.

“Menghadapi generasi strawberry, gampang-gampang susah,” ungkap seorang psikolog. “Orang tua perlu tahu gaya pengasuhan saat membesarkan anaknya. Gaya ini mencakup perilaku dan sikap orang tua serta lingkungan emosional dimana mereka membesarkan anaknya,” tambahnya.

Maksudnya gimana?

Gaya pengasuhan yang diberikan orang tua, akan dapat memberi dampak yang signifikan terhadap perilaku anaknya di kemudian hari. (https://www.verywellmind.com/what-is-personality-2795416)

Adalah psikolog kondang, Dr. Diana Blumberg Baumrind yang memperkenalkan gaya pengasuhan anak setelah melakukan penelitian terhadap lebih dari 100 anak usia pra-sekolah. (https://psycnet.apa.org/record/1967-05780-001)

Berdasarkan penelitiannya, Baumrind menyatakan bahwa mayoritas orang tua menampilkan salah satu dari tiga gaya pengasuhan yang berbeda. Hasil penelitian Baumrind kemudian disempurnakan oleh Eleanor Maccoby dan John Martin yang menambahkan gaya pengasuhan yang keempat.

Apa saja gaya pengasuhan tersebut?

Gaya asuh otoriter, gaya asuh yang otoritatif, gaya asuh yang permisif dan yang terakhir gaya asuh yang tidak terlibat.

Gaya asuh otoriter diterapkan oleh orang tua dengan harapan anak akan mengikuti aturan ketat yang diterapkan pada mereka. Tindakan indisipliner hanya akan mengakibatkan hukuman pada anak. Pada gaya asuh ini, orang tua nggak pernah menjelaskan alasan dibalik aturan. “Karena saya bilang begitu, maka kamu harus mematuhinya,” demikian kurleb-nya.

Hasil gaya asuhan ini hanya akan menghasilkan anak-anak yang perfeksionis karena semua dijalankan tanpa boleh ada secuil kesalahan. Selain itu, gaya asuh otoriter bakal menciptakan anak yang patuh dan cakap dalam bekerja, namun dalam hal kebahagiaan, kompetensi sosial dan harga diri mereka tergolong rendah.

Lebih buruk lagi, anak-anak tersebut cenderung menjadi sosok pembohong demi untuk menghindari hukuman atas ‘kesalahan’ yang telah mereka buat.

Yang kedua adalah gaya asuh otoritatif, dimana orang tua menetapkan aturan dan pedoman yang diharapkan dipatuhi oleh anak-anak mereka, secara demokratis. Artinya, orang tua masih mau mendengarkan suara anak-anaknya dalam menerapkan aturan, dan tidak mengedepankan sanksi dan hukuman.

Jadi saat anak gagal memenuhi harapan, orang tua bakal mengasuh dan memberi masukan ketimbang memberikan hukuman.

“Orang tua yang otoritatif bakal menerapkan metode pendisiplinan yang tegas dan suportif serta tidak mengedepankan hukuman semata,” ungkap Baumrind.

Nggak aneh jika gaya pengasuhan otoritatif bakal menghasilkan anak yang bertanggung jawab secara sosial, kooperatif, mampu mengendalikan diri dan dapat mengatur dirinya sendiri alias mandiri.

Dari gaya asuhan yang otoritatif, bakal menghasilkan anak-anak yang bahagia, cakap dalam mengerjakan tugas dan cenderung sukses menjalani hidup.

Bagaimana dengan gaya asuh yang permisif?

Orang tua dengan gaya asuh permisif bakal memanjakan anak-anaknya dan otomatis nggak banyak menuntut mereka. Orang tua akan memposisikan dirinya sebagai teman bagi anak-anaknya, ketimbang fungsi mereka sebagai orang tua. Jadi anaknya mau begini-begitu, orang tua hanya bisa pasrah, layaknya seorang teman.

Apa yang terjadi kemudian?

Anak-anak dengan gaya asuh ini akan menjadi sosok yang mandiri, tapi buruk dalam pengaturan diri. Mana ada ceritanya seorang anak tahu hal yang baik atau buruk tanpa ada masukan atau pendam;pingan dari orang tuanya?

Walhasil anak-anak dengan gaya asuh permisif bakal mengalami masalah dengan otoritas dan punya prestasi yang buruk di sekolah karena kurangnya kontrol dan perhatian orang tua.

Dan yang terakhir adalah gaya asuh yang tidak terlibat atau mengabaikan. Ini ditandai dengan sedikitnya tuntutan, rendahnya daya tanggap dan sangat sedikitnya komunikasi. (https://www.liebertpub.com/doi/10.1089/chi.2013.0034)

Pada prinsipnya, orang tua dengan gaya asuh mengabaikan punya prinsip sebagai donatur yang akan memenuhi kebutuhan anak, tapi tergolong cuek terhadap kehidupan mereka. Nggak akan ada bimbingan, aturan ataupun dukungan dari orang tua bagi sang anak.

Buruknya, dalam beberapa kasus orang tua malah menyangkal kewajibannya dalam memenuhi kebutuhan sang anak dan kerap melakukan kekerasan baik secara fisik dan verbal pada mereka.

Penelitian yang dibuat oleh Kuppens dan Ceulemans (2019) menemukan bahwa anak-anak yang dibesarkan oleh orang tua yang lalai, cenderung mengalami kesulitan di sekolah, gampang depresi, memiliki hubungan sosial yang buruk, sulit mengendalikan emosi dan lebih banyak merasa cemas. (https://link.springer.com/article/10.1007/s10826-018-1242-x)

Secara umum, gaya asuh orang tua yang abai bakal menghasilkan individu yang sulit dalam mengendalikan diri, memiliki harga diri yang rendah dan juga kurang kompeten dibandingkan teman sebayanya.

Lantas apa gunanya kita mengetahui gaya asuh anak?

Karena ini berkaitan erat dengan kehidupan anak di masa depan, entah itu dari sisi akademik, kesehatan mental, harga diri, hingga hubungan sosial.

Walaupun secara implisit Baumrind menyatakan bahwa gaya asuh otoritatif cenderung lebih baik dari gaya asuh yang lain, tapi sebenarnya nggak ada gaya asuh yang terbaik.

Mengapa?

Karena gaya asuh bukan variabel tunggal dalam membentuk masa depan anak. Ada banyak lagi variabel bebas yang berperan.

Namun yang terpenting peran orang tua harus berfungsi dengan cara mendengarkan keluh kesah anak selain mempertimbangkan masukan anak sebelum menerapkan aturan. Perlu konsistensi untuk menerapkan aturan yang telah dibuat.

Bagaimana menurut anda?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah analis Geopolitik dan mantan Aktivis 98)


error: Content is protected !!