Venezuela: Kasus Rusuh Pasca Pemilu


528

14 April 2013, Venezuela melangsungkan pilpes. Secara dramatis, akhirnya Nicolas Maduro berhasil memenangkan kontestasi atas Henrique Capriles dengan marjin tipis, 50,7% – 49,1% atau setara dengan selisih 235ribu suara.

Hasil ini yang akhirnya memicu ketidakpuasan Capriles selaku oposisi dengan mengerahkan massa untuk turun ke jalan guna menyuarakan pemilu ulang, karena diduga Maduro telah memanipulasi hasil perhitungan suara.

Inilah, yang kemudian oleh para analis dijadikan acuan analogi bahwa bukan tidak mungkin kejadian yang sama bisa terjadi di Indonesia pasca pilpres di April 2019 nanti. Rusuh pasca pemilu.

Pertanyaan kritisnya, apa yah seperti itu?

Venezuela adalah sebuah negara dibelahan Amerika selatan, yang secara geopolitik merupakan backyard alias halaman belakang Amerika Serikat (AS). Negara ini kaya akan sumber daya alam, terutama minyak buminya. Tercatat 95% pemasukan Venezuela berasal dari ekspor minyak.

Ini berarti, hidup matinya negara itu, amat ditentukan oleh harga minyak dunia. Saat harga minyak dipasaran tinggi, maka pundi-pundi negara itu-pun langsung terisi penuh. Begitupun sebaliknya.

Dulunya, seperti banyak tipikal negara Amerika Latin, Venezuela merupakan negara boneka AS. Terutama saat Carlos Andres Perez memimpin negara ini, apa yang bisa dibanggakan? Kondisi ekonomi rentan terhadap krisis dan gagal mensejahterakan rakyat. Jenjang antara si kaya dan si miskin benar-benar menganga.

Baru pada pemilu 1998, setelah Hugo Chavez mengambil tampuk kepemimpinan, perlahan tapi pasti, perekonomian Venezuela mulai mengalami perubahan.

Angka kemiskinan saja berhasil ditekan menjadi hanya 25% pada 2012. Padahal pada 1996, angka kemiskinannya ada dibilangan 53%. Pencapaian yang warbiyasah. Bahkan World Bank mendaulat Pendapatan Produk Nasional Bruto per kapita-nya bisa mengungguli capaian Brazil dan Argentina.

Secara singkat, dibawah Chavez yang sangat menolak tunduk kepada pasar bebas, angka kemiskinan dapat ditekan, ketimbang rejim sebelumnya yang adalah boneka AS.

Akibatnya, rakyat miskin Venezuela mulai kritis untuk memperjuangkan kepentingannya pada arena politik. Kalau pada rejim terdahulu, rakyat hanya bisa jadi penonton atas penjarahan SDA yang terjadi di negara, sekarang mereka bisa aktif lewat berbagai lembaga yang disediakan negara.

Inilah yang akhirnya menumbuhkan kecintaan rakyat Venezuela pada sosok Hugo Chavez.

Waktupun berlalu, hingga akhirnya Chavez menderita kanker dan wafat pada 2012. Penggantinya, Maduro terpaksa menggantikannya saat berhasil memenangkan pemilu setahun kemudian.

Namun perilaku Chavez, dicopas oleh Maduro. Rakyat kembali dimanjakan oleh program subsidi. Apa-apa disubsidi, karena memang hasil minyak bumi sangat cukup menunjang program populis tersebut. Sampai akhirnya, harga minyak terjun bebas di tahun 2016. Akibatnya kas negara perlahan kosong dan akhirnya defisit.

Bukan mencari terobosan baru, Maduro malah mengambil langkah blunder dengan mencetak uang sebanyak mungkin. Bisa ditebak, inflasi-pun merangkak naik hingga mencapai 1000%. Mata uang Venezuela (Bolivar) nyaris nggak ada nilainya.

Saat inilah, AS yang merasa terganggu oleh rejim Chavez dan penerusnya, kembali memainkan skenarionya guna menggoyang negara tersebut. Ini bukan tanpa sebab. Pertama hubungan Venezuela dan Kuba yang makin mesra di era Chavez. Kedua, pengaruh Cina dan Rusia yang mendapat jalan untuk bermitra dengan pemerintah Venezuela.

Secara ideologis saja, apapun yang berbau sosialis kudu wajib diperangi oleh AS, apalagi ini sudah sampai backyard AS. “Sosialisme itu ibarat virus, karena mapu menyebar dengan cepat.”

Antisipasinya jelas, siapapun itu, harus segera digulingkan. Inilah yang bisa menjelaskan mengapa Maduro hanya unggul tipis atas Capriles, walaupun Venezuela sangat dikenal dengan rejim sosialis-nya. Karena ada intervensi AS dibelakanganya guna mendongkrak suara Capriles.

Walaupun demikian, toh dari rusuh pasca pemilu 2013 hingga kini, pihak oposisi yang dibeking kuat oleh AS masih gagal menjatuhkan rejim Maduro. Bahkan Maduro berteriak makin lantang: “Go away, Yankee imperialist!!”

Kenapa hal itu bisa terjadi? Karena pihak oposisi gagal memecah kubu angkatan bersenjata. Dimana-mana neng, kudeta selalu melibatkan anasir militer. Masa iya, mau kudeta cukup dengan mengandalkan people power? Gimme a break, bro?

Dan Maduro sangat paham akan hal ini. Soliditas angkatan bersenjata paling dia jaga. Bahkan belakangan, Maduro malah mengintegrasi kekuatan rakyatnya dengan angkatan bersenjata, guna menghadapi skenario buruk AS untuk mengintervensi via kekuatan militer ke Venezuela.

Terlepas bagaimana nasib Venezuela berikutnya, akan ditentukan ke depannya. Terakhir saya dengar kalo Maduro juga menggandeng Cina dan Rusia, kalo-kalo serangan militer jadi diterapkan pihak AS. Dukungan ideologis sesama rejim sosialis akan sangat dibutuhkan.

Setidaknya dari kasus Venezuela kita belajar banyak hal. Bagi pihak cebongers, hendaknya bekerja lebih giat untuk memenangkan Jokowi pada pilpres 2019 nanti. Jangan sampai menang tipis, karena itu bisa jadi entry point pihak kampret untuk menggugat hasil pemilu lewat kekuatan massa. Untuk itu, kerja laten door-to-door wajib dijalankan secara intens.

Akankah pihak AS berkepentingan untuk men-suriah-kan Indonesia? Terlalu besar resikonya. Coba jalan ke mall dan lihat sekelilingnya, adakah produk AS tidak banyak ditemukan disana? Kedua, langkah yang diambil Jokowi tidak se-ekstrim yang dilakukan Chavez dengan membentuk poros Indonesia-Cina atau Indonesia-Rusia, misalnya.

Lha, terus ngapain Indonesia diberangus?

Emang lu pikir AS nggak dapat apa-apa di Indonesia, seandainya-pun Jokowi terpilih kembali?

Salam Demokrasi!!

(*Penulis adalah mantan Aktivis 98 GEMA IPB)

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


0 Comments

Your email address will not be published. Required fields are marked *

error: Content is protected !!